MAKALAH
JUAL BELI DAN PRODUKSI
Disusun sebagai tugas kelompok mata kuliah
Sistem Ekonomi Islam 2
Dosen
Slamet Hariyono
Disusun oleh :
KELOMPOK 3
Alton PP
Yoni K
Azwar M
Suyanto
STIS SBI SURABAYA
2012
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrahim,
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya kepada saya sehingga
dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya. Makalah ini berjudul
“JUAL BELI DAN PRODUKSI “
Makalah ini membahas penjelasan – penjelasan
yang sangat penting tentang hukum – hukum jual beli dan produksi yang benar
dalam Islam. Mulai dari pengertian, dasar hukum, klasifikasi dan pengelompokan,
syarat dan rukun, dan masih banyak lagi aspek – aspek yang akan dibahas.
Terima kasih kami ucapkan
kepada semua pihak yang telah mendukung terselesaikannya tugas ini, baik secara
langsung dan tidak langsung. Atas kekurangan dari makalah ini, diharapkan kritik
dan saran dari semua pihak untuk kebaikan dan kemajuan bersama.
Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita, dan makalah ini bisa
memberikan manfaat bagi siapapun yang membaca. Amin.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
Bab I Pendahuluan
I.
Latar Belakang Masalah
II.
Rumusan Masalah
Bab II Pembahasan
A.
Jual Beli
1.
Pengertian
2.
Dasar Hukum
3.
Klasifikasi
4.
rukun
5.
Sebab – sebab dilarang
B.
Produksi
1.
Abstrak
2.
Proses dan Fungsi
3.
Teori perilaku dan tujuan
4.
Prinsip – prinsip
5.
Hubungan dengan konsumsi
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Masalah
Dalam perkembangan kemajuan Indonesia. Era
sekarang adalah era dimana kewirausahaan menjadi tren percepatan akan
perkembangan menuju Indonesia sebagai Negara maju berikutnya. Dengan itu
program – program dari pemerintah dan juga lembaga – lembaga masyarakat terus
menggalakkan jiwa kewirausahaan yang kuat dan mandiri. Hal ini didukung dengan
cepatnya dunia informasi di dalam kehidupan. Salah satu yang perlu diperhatikan
adalah perdagangan dan industri tentang produksi yang semakin hari semakin
pesat perkembangannya.
Sebagai
seorang muslim yang beriman, maka perlu dipahami tentang hukum – hukum yang ada
dalam Islam salah satunya hukum muamalah tentang jual beli dan produksi. Karena
dalam system kapitalis sekarang ini. Penerapan hukum Islam sangat sulit
dibedakan dengan hukum lainnya karena kuatnya kebiasaan dengan system
materialis. Harus dipahami bahwa Islam memiliki aturan yang ideal dalam kondisi
yang khas. Harus ada batasan yang jelas mana yang termasuk aturan Islam atau
yang lainnya
II. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat kita
ambil beberapa rumusan masalah yang akan kita bahas dalam bab berikutnya.
Yaitu:
- Pengertian
- Fungsi dan Tujuan
- Dasar Hukum
- Klasifikasi
- Prinsip
BAB II
PEMBAHASAN
A. JUAL BELI
- Pengertian Jual Beli
Jual beli dalam bahasa Arab
terdiri dari dua kata yang mengandung makna berlawanan yaitu Al Bai’ yang
artinya jual dan Asy Syira’a yang artinya Beli.
Secara etimologis, jual beli berarti menukar harta dengan
harta. Sedangkan, secara terminologi, jual beli memiliki arti penukaran selain
dengan fasilitas dan kenikmatan.
Menjual adalah memindahkan hak milik kepada orang lain
dengan harga, sedangkan membeli yaitu menerimanya.
Menurut istilah hukum Syara, jual beli adalah penukaran
harta (dalam pengertian luas) atas dasar saling rela atau tukar menukar suatu
benda (barang) yang dilakukan antara dua pihak dengan kesepakatan (akad)
tertentu atas dasar suka sama suka (lihat QS Az Zumar : 39, At Taubah : 103,
hud : 93)
Maka Jual Beli bisa didefinisikan sebagai: Suatu transaksi
pemindahan pemilikan suatu barang dari satu pihak (penjual) ke pihak lain
(pembeli) dengan imbalan suatu barang lain atau uang. Atau dengan kata lain,
jual beli itu adalah ijab dan qabul,yaitu suatu proses penyerahan dan
penerimaan dalam transaksi barang atau jasa.
- Dasar Hukum Jual Beli
Jual beli disyariatkan di dalam Alquran, assunnah, ijma, dan
dalil akal. termasuk dalam katagori muamalah yang dihalalkan oleh Allah . Allah
SWT berfirman:
“Dan Allah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S. Al Baqarah: 275).
“Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi
untukmu.” (QS. Al-Baqarah: 29)
dalam tafsir ayat diatas mengatakan: “Apa-apa yang
bermanfaat bagi hamba-Nya maka Allah memperbolehkannya dan apa-apa yang
memudharatkannya maka Dia melarangnya bagi mereka”.
Dari ayat ini para ulama mengambil sebuah kaidah bahwa
seluruh bentuk jual beli hukum asalnya boleh kecuali jual beli yang dilarang
oleh Allah dan Rasul-Nya. Yaitu setiap transaksi jual beli yang tidak memenuhi
syarat sahnya atau terdapat larangan dalam unsur jual-beli tersebut.
- Klasifikasi Jual Beli
Jual beli dibedakan dalam banyak pembagian berdasarkan sudut
pandang. Adapun pengklasifikasian jual beli adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan Objeknya dagangnya. terbagi
menjadi tiga jenis yaitu:
a) Jual beli umum / Bai’ al-sil’ah bi
al-naqd : jual beli sesuatu barang
dengan mata uang. Jenis ini adalah yang paling luas berlaku dikalangan manusia.
Contonya ialah membeli sehelai baju dengan Rupiah atau US Dollar dan
seumpamanya. yaitu menukar uang dengan barang.
b) Jual beli Money Changer / Bai’ al-sharf
: jual beli mata uang dengan mata uang
yang sama atau berbeda jenis, seperti menjual emas dengan emas, perak dengan
perak atau emas dengan perak, rupiah dengan dollar dan sebagainya. penukaran
uang dengan uang.
c) Jual beli barter / Bai’ al-muqayadhah :
jual beli sesuatu barang dengan barang, seperti menjual baju dengan tas atau
menjual binatang ternak dengan beras dan sebagainya., yaitu menukar barang
dengan barang.
2. Berdasarkan Standardisasi Harga
a) Jual Beli Bargainal (tawar menawar).
yaitu jual beli di mana penjual tidak memberitahukan modal barang yang
dijualnya.
b) Jual Beli Amanah. yaitu jual beli di mana penjual
memberitahukan modal barang yang dijualnya. Dengan dasar ini, jual beli ini
terbagi menjadi tiga jenis:
1) Jual beli murabahah / Bai’ al-murabahah
: jual beli suatu barang pada harga biaya bersama tambahan margin keuntungan,
seperti menjual suatu barang berharga 1 juta dengan harga biaya dan ditambah
pula margin keuntungan sebanyak 250 ribu yang disetujui oleh kedua pihak. jual
beli dengan modal dan keuntungan yang diketahui. (Suatu penjualan barang
seharga barang tersebut ditambah keuntungan yang disepakati). Karakteristik
Murabahah adalah si penjual harus memberitahu pembeli tentang harga pembelian barang dan menyatakan
jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut.
2) Jual beli wadhi’ah / Bai’ al-wadhiah :
adalah lawan dari jual beli secara
murabahah, jual-beli yang dibuat atas sesuatu barang dengan harga yang lebih
murah dari harga biaya, seperti harga barang adalah 1 juta dan dijual dengan
harga 900 ribu. jual beli dengan harga di bawah modal dan kerugian yang
diketahui.
3) Jual beli tauliyah / Bai’ al-tauliah :
jual beli sesuatu barang dengan harga biaya
tanpa ada lebih maupun kurang dari harganya. Seperti barang berharga 1
juta dijual 1 juta. jual beli dengan menjual barang sama dengan harga modal,
tanpa keuntungan atau kerugian
3. Berdasarkan Cara Pembayaran
a) Jual beli dengan penyerahan barang dan
pembayaran secara langsung (jual beli
kontan).
b) Jual beli dengan pembayaran tertunda
(jual beli nasi’ah).
c) Jual beli dengan penyerahan barang
tertunda.
d) Jual beli dengan penyerahan barang dan
pembayaran sama-sama tertunda.
4. Berdasarkan wilayah
a) Jual beli dalam negeri
Lingkup
anggota masyarakat dalam sebuah Negara. Berhubungan dengan barang yang ada di
tangan mereka seperti hasil produksi pertanian atau industry. Negara mengatur
dalam lingkup global.
b) Jual beli luar negeri
Impor
dan ekspor barang ke dalam dan keluar negeri. Harus mengikuti prosedur aturan
Negara. Negara memiliki kewenangan penuh dalam menentukan kebijakan.
- Rukun Jual Beli
Untuk dapat mengetahui dan memahami bentuk-bentuk transaksi
jual beli yang dilakukan oleh umumnya manusia, apakah hukumnya sah atau tidak,
penghasilan yang diperolehnya halal atau tidak, maka berikut ini kami akan
sebutkan rukun-rukun dan syarat-syarat sahnya jual beli. Jual beli memiliki 3
(tiga) rukun:
1. Al - ‘Aqid (orang yang melakukan
transaksi / penjual dan pembeli)
a) seorang yang merdeka, berakal (tidak
gila), dan baligh atau mumayyiz (sudah dapat membedakan baik/buruk atau
najis/suci, mengerti hitungan harga).
b) Seorang budak apabila melakukan
transaksi jual beli tidak sah kecuali atas izin dari tuannya, karena ia dan
harta yang ada di tangannya adalah milik tuannya.
Hal
ini berdasarkan sabda Nabi: “Barangsiapa menjual seorang budak yang memiliki
harta, maka hartanya itu milik penjualnya, kecuali jika pembeli mensyaratkan
juga membeli apa yang dimiliki oleh budak itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
c) Penjual dan pembeli harus saling ridha
dan tidak ada unsur keterpaksaan dari pihak manapun meskipun tidak diungkapkan
Allah
berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu”. (Q.S. An-Nisaa’: 29).
Rasulullah
bersabda:“Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan dengan suka rela.” (HR.
Ibnu Majah)
2. Al - ‘Aqd (transaksi / ijab-qabul)
a) Ijab (penawaran) yaitu si penjual
mengatakan, “saya jual barang ini dengan harga sekian”. Dan Qabul (penerimaan)
yaitu si pembeli mengatakan, “saya terima atau saya beli”.
Hal ini tidak wajib karena Allah dalam surat
An-Nisa’ hanya mensyaratkan saling ridha antara penjual dan pembeli dan tidak
mensyaratkan mengucapkan lafaz ijab-qabul. Dan saling ridha antara penjual dan
pembeli sebagaimana diketahui dengan lafaz ijab-qabul juga dapat diketahui
dengan adanya qarinah (perbuatan seseorang dengan mengambil barang lalu
membayarnya tanpa ada ucapan apa-apa dari kedua belah pihak). Dan tidak ada
riwayat dari nabi atau para sahabat yang menjelaskan lafaz ijab-qabul, andaikan
lafaz tersebut merupakan syarat tentulah akan diriwayatkan. Dengan demikian
boleh membeli barang dengan meletakkan uang pada mesin lalu barangnya keluar
dan diambil atau mengambil barang dari rak di super market dan membayar di
kasir tanpa ada lafaz ijab-qabul.
3. Al - Ma’qud ‘Alaihi ( objek transaksi
mencakup barang dan uang).
a) Barang yang diperjual-belikan memiliki
manfaat yang dibenarkan syariat, bukan najis dan bukan benda yang diharamkan
oleh Allah dan Rasul-Nya.
Nabi
shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan
atas suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka Dia pasti mengharamkan harganya”.
(HR. Abu Dawud dan Baihaqi dengan sanad shahih). Oleh karena itu tidak halal
uang hasil penjualan barang-barang haram sebagai berikut: Minuman keras dengan
berbagai macam jenisnya, bangkai, babi, anjing dan patung.
Nabi
shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya
mengharamkan jual beli khamer, bangkai, babi dan patung”. (HR. Bukhari dan
Muslim) “Sesungguhnya Nabi Saw melarang (makan) harga anjing, bayaran pelacur
dan hasil perdukunan”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Termasuk
dalam barang-barang yang haram diperjual-belikan ialah Kaset atau VCD musik dan
porno. Maka uang hasil keuntungan menjual barang ini tidak halal dan tentunya
tidak berkah, karena musik telah diharamkan Allah dan rasul-Nya. Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Akan ada diantara umatku sekelompok
orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat musik”. (HR. Bukhari)
b) Barang yang dijual harus barang yang
telah dimilikinya. Dan kepemilikan sebuah barang dari hasil pembelian sebuah
barang menjadi sempurna dengan terjadinya transaksi dan serah-terima.
Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, dia bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi
wasallam tentang seseorang yang datang ke tokonya untuk membeli suatu barang,
kebetulan barang tersebut sedang tidak ada di tokonya, kemudian dia mengambil uang
orang tersebut dan membeli barang yang diinginkan dari toko lain, maka Nabi
shallallahu alaihi wasallam menjawab: “jangan engkau jual barang yang tidak
engkau miliki!” (HR. Abu Daud ). Dan tidak boleh hukumnya menjual barang yang
telah dibeli namun belum terjadi serah-terima barang. Diriwayatkan dari Hakim
bin Hizam, ia berkata, “aku bertanya kepada rasulullah, jual-beli apakah yang
diharamkan dan yang dihalalkan? Beliau bersabda, “hai keponakanku! Bila engkau
membeli barang jangan dijual sebelum terjadi serah terima”. (HR. Ahmad)
c) Barang yang dijual tidak bisa diserahkan
kepada si pembeli. tidak sah menjual mobil, motor atau handphone miliknya yang
dicuri oleh orang lain dan belum kembali. Demikian tidak sah menjual burung di
udara atau ikan di kolam yang belum di tangkap, hal ini sebagaimana sabda Nabi
shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan Abu Said, ia berkata:
“Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang membeli hamba sahaya
yang kabur”. (HR.Ahmad)
d) Barang yang diperjual-belikan dan harganya
harus diketahui oleh pembeli dan penjual. Barang bisa diketahui dengan cara
melihat fisiknya, atau mendengar penjelasan dari si penjual, kecuali untuk
barang yang bila dibuka bungkusnya akan menjadi rusak seperti; telur, kelapa,
durian, semangka dan selainnya. Maka sah jual beli tanpa melihat isinya dan si
pembeli tidak berhak mengembalikan barang yang dibelinya seandainya didapati
isi rusak kecuali dia mensyaratkan di saat akad jual-beli akan mengembalikan
barang tersebut bilamana isinya rusak atau si penjual bermaksud menipu si
pembeli dengan cara membuka sebuah semangka yang bagus, atau jeruk yang manis
rasanya dan memajangnya sebagai contoh padahal dia tahu bahwa sebagian besar
semangka dan jeruk yang dimilikinya bukan dari jenis contoh yang dipajang. Maka
ini termasuk jual-beli gharar (penipuan) yang diharamkan syariat. Karena nabi
shallallahu alaihi wa sallam melarang jual beli yang mengandung unsur gharar
(ketidak jelasan/penipuan). (HR. Muslim). Adapun harga barang bisa diketahui
dengan cara menanyakan langsung kepada si penjual atau dengan melihat harga
yang tertera pada barang, kecuali bila harga yang ditulis pada barang tersebut
direkayasa dan bukan harga sesungguhnya, ini juga termasuk jual-beli gharar
(penipuan).
e) Barang tersebut telah ditentukan jenis
dan kuantitasnya, barang dan nilainya diketahui (statusnya jelas) Hal ini untuk
menghindari penipuan. Syarat barang diketahui cukup dengan mengetahui
keberadaan barang tersebut sekalipun tanpa mengetahui jumlahnya, seperti pada
transaksi berdasarkan perkiraan atau taksiran. Untuk barang Zimmah (barang yang
dihitung dan ditimbang), maka jumlah dan sifat-sifatnya harus diketahui oleh
kedua belah pihak. Demikian juga harganya harus diketahui, baik itu sifat,
nilai pembayaran, jumlah maupun masanya.
f) Masa penyerahannya telah ditetapkan.
g) Tempat untuk diserahkan barang telah
ditentukan.
- Sebab – Sebab dilarangnya Jual Beli
1. Berkaitan dengan objek
a) Tidak terpenuhniya syarat perjanjian,
seperti menjual yang tidak ada, menjual anak binatang yang masih dalam tulang
sulbi pejantan (malaqih) atau yang masih dalam tulang dada induknya (madhamin).
b) Tidak terpenuhinya syarat nilai dan
fungsi dari objek jual beli, seperti menjual barang najis, haram dan
sebagainya.
c) Tidak terpenuhinya syarat kepemilikan
objek jual beli oleh si penjual.
2. Berkaitan dengan komitmen terhadap akad
jual beli
a) Jual beli yang mengandung riba
b) Jual beli yang mengandung kecurangan dan
trik.
c) Menjual tanggungan dengan tanggungan.
Telah diriwayatkan larangan menjual tanggungan dengan tanggungan sebagaimana
tersebut dalam hadits Nabi dari Ibnu ’Umar Ra. Yaitu menjual harga yang
ditangguhkan dengan pembayaran yang ditangguhkan juga. Misalnya, menggugurkan
apa yang ada pada tanggungan orang yang berhutang dengan jaminan nilai tertentu
yang pengambilannya ditangguhkan dari waktu pengguguran. Ini adalah bentuk riba
yang paling jelas dan paling jelek sekali.
d) Jual beli disertai syarat. Jual beli
disertai syarat tidak diijinkan dalam hukum Islam. bertentangan dengan
konsekuensi jual beli seperti agar pembeli tidak menjualnya kembali atau
menggunakannya. bertentangan dengan akad, seperti adanya bentuk usaha lain,
seperti jual beli lain atau peminjaman, dan persyaratan yang membuat jual beli
menjadi bergantung, seperti ”Saya jual ini kepadamu, kalau si Fulan ridha.
e) Dua perjanjian dalam satu transaksi jual
beli. Tidak dibolehkan melakukan dua perjanjian dalam satu transaksi.
f) Jika akad jual beli itu menyulitkan
ibadah, misalnya mengambil waktu shalat. Seorang pedagang sibuk dengan jual
beli sampai terlambat melakukan shalat jama’ah di masjid, baik tertinggal
seluruh shalat atau masbuq. Berniaga yang sampai melalaikan seperti ini
dilarang. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk
menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat
Allah dan tinggalkanlah jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui. Apabila telah di tunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di
muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya
kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah: 9-10)
g) Jual
beli najasy (menawar harga tinggi untuk menipu pengunjung lainnya)
h) Jual beli seorang muslim di atas akad
saudaranya.
i)
Jual
beli dengan cara menipu.
j)
Menjual
sesuatu yang halal untuk digunakan maksiat terhadap Allah SWT / keharaman. jika
kita mengetahui barang yang kita jual kepada seseorang akan digunakan untuk
maksiat kepada Allah maka haram bagi kita untuk melakukan jual-beli tersebut.
misal : menjual anggur yang kita ketahui
bahwa anggur itu akan dibuat khamr, menjual senjata kepada pihak yang sedang
berperang.
k) Menjual barang dengan 2 harga yang
berbeda. Yang dimaksudkan ini ialah membeda-bedakan harga kepada orang lain.
Islam mengajarkan bahwa terhadap musuh pun harus berlaku adil dalam jual-beli.
Hal ini tidak termasuk apabila terjadi tawar-menawar dengan pembeli. Misal : A
mempunyai kecukupan harta dan tidak menawar harga yang kita tawarkan sedangkan
B termasuk Dhuafa maka ia melakukan penawaran dan kita mengurangi harga
tersebut. Maka semacam ini diperbolehkan
l)
Menjual
dengan menghancurkan harga pasar. “janganlah kamu menjual sebagian kamu di atas
sebagian yang lain” atau membeli di atas yang lain. Contoh ialah menawarkan
harga kepada pembeli yang sudah sepakat dengan orang lain untuk berjualbeli
namun kita mengajukan penawaran yang lebih murah sehingga orang yang sudah
sepakat tersebut membatalkan kesepakatan.
m) Buyback atau pembelian kembali atas
barang yang kita jual. Misal kita menjual sepeda motor dengan harga 10 juta,
kita menyetujui karena kita sedang butuh uang tersebut. Setelah kita memiliki
kemampuan maka kita berniat membeli kembali sepeda motor tersebut namun dengan
harga yang lebih tinggi yaitu misal 12 juta. Hal ini tidak boleh dilakukan. Hal
ini tidak dibenarkan karena ini merupakan cara seseorang untuk mendapatkan
riba/kelebihan.
n) Jual-Beli buah-buahan sebelum matang.
Sistem ini sering terjadi dan dikenal dengan sistem ijon. Hal ini tidak boleh
dilakukan karena ditakutkan barang tersebut hancur, busuk atau dimakan
binatang. Jual-beli boleh dilakukan ketika barang tersebut sudah jelas baik,
sudah matang dsb.
o) Menjual hanya untuk main-main, tidak
serius. sebenarnya penjual tidak berniat untuk menjual barang tersebut hanya
untuk bermain-main. Misal menjual tanah dengan harga 500 juta, kemudian ada
yang mau setuju dengan harga tersebut, sang penjual tidak mau menyetujui atau
menaikan menjadi 600 juta. Jika dinaikan menjadi 600 juta dan pembeli tetap mau
membeli, sang penjual tidak mau menyetujuinya.
- PRODUKSI
- Abstrak
Tulisan ini
berupaya menganalisis produksi dalam perspektif Islam. Melalui pendalaman
terhadap berbagai prinsip dan karakter dari produksi dalam pandangan Islam,
ditemukanlah beberapa aspek yang harus selalu dijaga harmoninya agar motivasi
dan cita-cita manusia dalam kehidupan ekonominya dapat tercapai yaitu
dipenuhinya kebutuhan manusia secara wajar dan berkeadilan sebagai sarana
ibadah kepada Allah.
Aspek-aspek yang harus dijaga
keterkaitannya tersebut adalah tentang motivasi, kuantitas, kualitas, serta
tatacara atau prosedur dalam berkonsumsi dan produksi. Semua itu harus
diterapkan secara selaras dan simultan sesuai dengan nilai-nilai Islam yang
ada.
Praktek konsumsi yang tidak
sinkron dengan produksinya atau sebaliknya praktek produksi tidak sinkron
dengan konsumsinya dalam berbagai aspek tersebut akan dapat menimbulkan
berbagai persoalan negatif bahkan fatal dalam kehidupan ekonomi dan sosial
masyarakat. Di antaranya: Timbulnya penyakit, kelaparan, kemiskinan,
pengangguran, rendanya kualitas sumberdaya manusia. Juga terjadinya over
produksi, sehingga cepat rusak atau habisnya sumberdaya alam yang tak
terbarukan, perilaku konsumen yang boros, persaingan yang tidak sehat, labilnya
harga, timbulnya kriminalitas, bahkan pertikaian antar individu atau kelompok
masyarakat.
Sesuai kodratnya manusia tidak
mungkin menghindarkan diri dari kegiatan produksi. Demi eksistensi dan
kenyamanan hidupnya, manusia memerlukan banyak barang dan jasa. Sementara
barang yang tersedia secara langsung untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup
manusia itu sangat terbatas, baik menyangkut jumlah, ragam maupun kualitasnya.
Dari sinilah kemudian manusia terpanggil untuk melakukan kegiatan produksi.
Mengelola berbagai sumber daya yang ada dengan mengubahnya untuk membuat atau
menghasilkan sesuatu, demi memenuhi kebutuhan hidupnya yang terus meningkat dan
bervariasi seiring dengan dinamika peradaban.
Dengan demikian maka persoalan
yang menjadi urgen adalah: Dalam masalah apa saja keterkaitan produksi itu?
Bagaimana Pandangan Islam tentang produksi? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang
seharusnya selalu mengiringi perjalanan hidup manusia dalam berproduksi. Hal
ini tentu sesuai dengan tanggung jawab pribadi dan sosial yang diembannya.
Pemahaman terhadap persoalan ini
diharapkan dapat mengantarkan manusia pada nilai hidup yang lebih bermartabat, proporsional,
berkeadilan, juga terhindarkan dari ancaman murka Allah SWT. Banyak aspek yang
terkait dengan produksi yang perlu
diperhatikan agar tujuan dapat maksimal dan tetap dalam koridor ridha Allah.
Islam sendiri telah memiliki pedoman bagaimana manusia itu harus berproduksi.
Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat berakibat negatif bahkan fatal bagi
kehidupan manusia. Semoga tulisan sederhana ini mampu memberi tambahan
pencerahan pada pemerhati ekonomi Islam.
- Proses dan fungsi produksi
Produksi adalah
proses mengeluarkan hasil, penghasilan. Dalam
istilah ilmu ekonomi sering dimaknai sebagai kegiatan yang bertujuan untuk
menghasilkan atau menambah guna dari suatu barang atau jasa. Produksi adalah
sebuah proses yang lahir di muka bumi ini semenjak manusia awal menghuninya.
Dalam operasionalnya produksi
memerlukan berbagai faktor atau sarana yang harus dilibatkan. Faktor-faktor
produksi yang merupakan input dalam suatu proses produksi pada umumnya
dikategorikan sebagai faktor produksi alam, tenaga kerja, modal, dan
kewirausahaan atau organisasi. Faktor produksi alam merupakan segala sesuatu
yang telah tersedia pada alam yang dapat dimanfaatkan dalam proses produksi
seperti: tanah, air, udara, iklim, sungai, laut, gunung, hutan, dll. Tenaga
kerja merupakan semua bentuk kegiatan manusia baik yang bersifat kemahiran
fisik maupun mental yang diperlukan dalam proses produksi. Modal adalah segala
sesuatu yang dihasilkan oleh manusia dengan maksud untuk menghasilkan barang
atau jasa lain yang diperlukan manusia lebih lanjut, seperti jalan-jalan,
mesin-mesin, peralatan, dll. Sedang kewirausahaan adalah kemampuan seseorang
dalam mengelola faktor-faktor produksi yang ada, atau menjalankan suatu
perusahaan sehingga proses produksi dapat berjalan dengan efisien dan menguntungkan.
- Teori perilaku dan tujuan produsen
Dalam pandangan
konvensional beberapa teori atau asumsi dasar tentang perilaku produsen adalah:
Produsen bertindak secara
rasional, artinya produsen akan selalu mempertimbangkan antara hasil (output)
dan pengorbanannya (input).
Kegiatan produksi akan tunduk
pada hukum yang disebut: “The Law of Diminishing Return” Yaitu bila satu macam
input ditambah terus penggunaannya, sedang input yang lain tetap, maka tambahan
output yang dihasilkan dari setiap tambahan satu unit input mula-mula akan naik
tetapi kemudian terus menurun bila input tersebut terus ditambah.
Produsen dalam menggunakan faktor
produksinya akan memilih kombinasi faktor produksi yang paling menguntungkan
(paling efisien). Kombinasi input yang dapat dipilih oleh produsen secara
matematis dig
ambarkan ke dalam suatu kurva
yang disebut isoquant yaitu kurva yang menghubungkan titik-titik kombinasi
input untuk menghasilkan tingkat output yang sama.
Tujuan utama produksi adalah
untuk menghasilkan barang atau jasa yang dapat memenuhi kebutuhan ataupun
keinginan manusia dengan sumberdaya yang efisien agar mendapatkan keuntungan
maksimum. Karena itulah persoalan produksi konvensional sering terjebak pada
orientasi tentang apa dan berapa output yang harus dihasilkan, serta bagaimana kombinasi dari berbagai faktor
produksi yang harus digunakan dalam kegiatan produksi tersebut agar dapat
mendatangkan keuntungan yang maksimum. Dua hal itulah yang selalu dianggap
sebagai intisari persoalan bagi produsen.
Dengan demikian produsen
dikatakan berhasil dalam produksinya, apabila usahanya itu dapat rentabel atau
menghasilkan keuntungan. Persoalan produksi masih belum menyangkut aspek
moralitas dan tanggung jawab sosial.
Dalam pandangan Islam persoalan
produksi tentu tidak sesederhana itu. Produksi harus memperhatikan berbagai
aspek beserta akibatnya, khususnya yang terkait dengan tanggung jawab pribadi
dan sosial manusia baik sebagai hamba atau khalifah Allah.
- Prinsip-prinsip produksi dalam Islam
Kegiatan
produksi sangat prinsip bagi kelangsungan hidup dan peradaban manusia dan bumi.
Produksi lahir dan tumbuh dari menyatunya manusia dengan alam. Allah telah
menetapkan bahwa manusia berperan sebagai khalifah. Bumi adalah lapangan atau
medan sedang manusia adalah pengelola segala apa yang terhampar di muka bumi
untuk dimaksimalkan fungsi dan kegunaannya. Tanggung jawab manusia adalah
mengelola resources yang telah disediakan oleh Allah tersebut secara efisien
dan optimal agar kesejahteraan dan keadilan dapat ditegakkan. Satu hal yang
harus selalu dihindari oleh manusia adalah berbuat kerusakan di muka bumi.
Dengan demikian segala hal yang diajukan untuk mencari keuntungan tanpa
berakibat pada peningkatan utility atau nilai guna resources tidak disukai
dalam Islam.
Prinsip fundamental yang harus
selalu diperhatikan dalam proses produksi dalam Islam adalah prinsip
kesejahteraan ekonomi. Konsep kesejahteraan ekonomi Islam terdiri dari
bertambahnya pendapatan yang diakibatkan oleh meningkatnya produksi dari
barang-barang yang berfaedah melalui pemanfaatan sumberdaya secara maksimum.
Dengan demikian perbaikan sistem produksi dalam Islam tidak hanya berarti
meningkatkan pendapatan, yang dapat diukur dari segi uang, tetapi juga
perbaikan dalam memaksimalkan terpenuhinya kebutuhan manusia dengan usaha
minimal tetapi tetap memperhatikan tuntutan perintah-perintah Islam tentang
konsumsi.
Selanjutnya beberapa implikasi
mendasar yang harus diperhatikan bagi kegiatan produksi dan perekonomian dalam
pandangan Islam adalah :
Seluruh kegiatan produksi terikat
pada tataran nilai moral dan teknikal yang Islami. Sejak dari kegiatan
mengorganisisr faktor produksi, proses produksi hingga pemasaran dan pelayanan
kepada konsumen, semuanya harus mengikuti moralitas Islam. Metwally (1992)
mengatakan ”perbedaan dari perusahaan-perusahaan non Islami tak hanya pada
tujuannya, tetapi juga pada kebijakan-kebijakan ekonomi dan strategi pasarnya”.
Produksi barag dan jasa yang dapat merusak moralitas dan menjauhkan manusia
dari nilai-nilai relijius tidak akan diperbolehkan. Terdapat lima jenis
kebutuhan yang dipandng bermanfaat untuk mencapai falah, yaitu :
1. kehidupan,
2. harta,
3. kebenaran,
4. ilmu pengetahuan dan
5. kelangsungan keturunan.
Selain itu Islam juga mengajarkan
adanya skala prioritas (dharuriyah, hajjiyah dan tahsiniyah) dalam pemenuhan
kebutuhan konsumsi serta melarang sikap berlebihan, larangan ini juga berlaku
bagi segala mata rantai dalam produksinya. Kegiatan produksi harus
memperhatikan aspek sosial-kemasyarakatan.
Kegiatan produksi harus menjaga
nilai-nilai keseimbangan dan harmoni dengan lingkungan sosial dan lingkungan
hidup dalam masyarakat dalam skala yang lebih luas. Selain itu, masyarakat juga
berhak menikmati hasil produksi secara memadai dan berkualitas. Jadi produksi
bukan hanya menyangkut kepentingan para produsen (stock holders) saja tapi juga
masyarakat secara keseluruhan (stake holders). Pemerataan manfaat dan
keuntungan produksi bagi keseluruhan masyarakat dan dilakukan dengan cara yang
paling baik merupakan tujuan utama kegiatan ekonomi.
Permasalahan ekonomi muncul bukan
saja karena kelangkaan tetapi lebih kompleks. Masalah ekonomi muncul bukan
karena adanya kelangkaan sumber daya ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan manusia
saja, tetapi juga disebabkan oleh kemalasan dan pengabaian optimalisasi segala
anugerah Allah, baik dalam bentuk sumber daya alam maupun manusia. Sikap
terserbut dalam Al-Qur’an sering disebut sebagai kezaliman atau pengingkaran
terhadap nikmat Allah. Hal ini akan membawa implikasi bahwa prinsip produksi
bukan sekedar efisiensi, tetapi secara luas adalah bagaimana
mengoptimalisasikan pemanfaatan sumber daya ekonomi dalam kerangka pengabdian
manusia kepada Tuhannya.
Kegiatan produksi dalam
perspektif Islam bersifat alturistik sehingga produsen tidak hanya mengejar
keuntungan maksimum saja. Produsen harus mengejar tujuan yang lebih luas
sebagaimana tujuan ajaran Islam yaitu falah didunia dan akhirat. Kegiatan
produksi juga harus berpedoman kepada nilai-nilai keadilan dan kebajikan bagi
masyarakat.
Sistem produksi dalam Islam harus
dikendalikan oleh kriteria obyektif maupun subyektif. Kriteria obyektif akan
tercermin dalam bentuk kesejahteran yang dapat diukur dari segi uang, sedangkan
kriteria subyektifnya dalam bentuk kesejahteraan yang dapat diukur dari segi
etika ekonomi yang didasarkan atas perintah-perintah kitab suci Al-Qur’an dan
Sunnah nabi. Dalam memandang faktor-faktor produksi Islam juga memiliki
pedoman-pedoman tersendiri. Tanah sebagai faktor produksi harus digunakan
sedemikian rupa sehingga tujuan pertumbuhan yang berimbang dapat tercapai.
Pemanfaatan tanah harus dapat memaksimalkan kesejahteraan ekonomi masyarakat.
Islam menaruh perhatian dalam pembudidayaan tanah-tanah kosong. Tenaga kerja
atau buruh sebagai faktor produksi dalam Islam tidak pernah terpisahkan dari
kehidupan moral dan sosial Faktor produksi organisasi diterapkan dengan ciri
atau tatacara tersendiri. Pengelolaan kekayaan lebih berdasar pada modal
sendiri daripada berdasarkan pinjaman. Organisasi dikendalikan dengan prinsip
integritas moral, ketepatan dan kejujuran dalam akuntansi. Faktor manusia dalam
produksi dan strategi usaha mempunyai signifikansi yang lebih diakui
dibandingkan dengan strategi manajemen yang hanya didasarka pada pemaksimalan
keuntungan atau penjualan.[23]
Islam dalam masalah produksi juga
sangat mengedepankan moralitas dan menyentuh nilai dasar kebutuhan manusia
(riel needs). Tidak harus selalu merespon kebutuhan konsumen, karena islam akan
memfilter keinginan orang dalam mengkonsumsi sebuah produk. Produksi dalam
islam tidak mengatakan bahwa konsumen adalah raja, atau apapun yang diminta
konsumen asal konsumen puas akan dilayani oleh perusahaan. Islam dalam hal ini
sangat menghargai keinginan konsumen dan berusaha untuk menyenangkannya tetapi
islam akan menyaring hal-hal yang tidak sesuai dengan islam untuk tidak
diproduksi.
Batasan yang diberikan Islam
dalam membuat sebuah produk sangat jelas, yang benar tidak bisa dicampurkan
dengan yang salah atas alasan apapun. Islam juga sangat menekankan kualitas
pelayanan tetapi kepuasan konsumen dibatasi dalam bingkai syari’ah islam.
Produksi dalam islam tidak boleh sekedar merespon permintaan pasar begitu saja.
Tetapi juga mengedepankan pemenuhan moralitas. Contohnya walaupun produksi
khamr (minuman keras) ataupun judi memiliki permintaan pasar yang besar dan
memberikan potensi keuntungan yang besar bagi produsen, tetapi dalam islam hal
tersebut tidak boleh dilakukan, sebab kedua barang konsumsi tersebut
membahayakan, merusak akhlak generasi muda, membuat orang tidak produktif dan
tidak sesuai dengan nilai-nilai syari’ah.
Sehingga tujuan produsen dalam
Islam tidak cukup hanya mencari keuntungan maksimum belaka, tetapi juga
menghasilkan barang dan jasa yang kemudian dimanfaatkan oleh konsumen untuk
mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat. Islam memberikan ruang fleksibilitas
yang sangat lebar dengan konsepnya yang sederhana namun mengena dan menyeluruh.
Segala sesuatu dalam ibadah dilarang kecuali yang diperintahkan, dan segala
sesuatu dalam mu’amalah dibolehkan kecuali yang dilarang.[24]
Dengan demikian prinsip pokok
produsen yang Islami antara lain yaitu :
Kegiatan produksi harus dilandasi
nila-nilai Islami, sesuai dengan maqashid syariah. Tidak memproduksi barang
yang bertentangan dengan maqashid syariah yaitu menjaga iman, keturunan, jiwa,
akal dan harta.
Prioritas produksi harus sesuai
dengan prioritas kebutuhan yaitu: Dharuriyah, Hajjiyah dan Tahsiniyah.
Kegiatan produksi harus
memperhatikan keadilan, aspek sosial kemasyarakatan, memenuhi kewajiban zakat,
sedekah, infak dn wakaf.
Mengelola sumberdaya alam secara
optimal, tidak boros, berlebihan dan merusak lingkungan.
Distribusi keuntungan yang adil
antara pemilik, pengelola, manajemen dan buruh.[25]
- Aspek-aspek keterkaitan konsumsi dan produksi dalam perspektif Islam
Dari berbagai
prinsip dan prosedur tentang produksi dalam pandangan Islam sebagaimana di
atas, apabila dikaji lebih jauh telah menunjukkan beberapa aspek, yaitu:
a. Aspek motivasi dan tujuan
Dalam pandangan Islam dengan
mengacu pada pemikiran al-Syatibi,[26] bahwa kebutuhan dasar manusia haruslah
mencakup lima hal, yaitu terjaganya kehidupan beragama (ad-din), terpeliharanya
jiwa (an-nafs), terjaminnya berkreasi dan berfikir (al-‘aql), terpenuhinya
kebutuhan materi (al-mal), dan keberlangsungan meneruskan keturunan (an-nasl). Maka
orientasi yang harus dibangun dalam melakukan kegiatan produksi adalah
mengarahkannya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang lima tersebut. Titik
temu terpenuhinya kebutuhan dasar manusia inilah yang merupakan orientasi
penting dalam melakukan produksi.
Jika terjadi kontradiksi antara
motivasi dan tujuan produksi akan dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan ataupun
penyimpangan-penyimpangan bagi manusia dalam masalah ekonomi. Bisa jadi barang
yang sangat diperlukan justru tidak tersedia, sementara barang-barang yang
kurang atau tidak diperlukan oleh konsumen malah tersedia dalam jumlah yang
berlebihan. Atau barang-barang yang dibutuhkan telah tersedia tetapi dengan
kualitas atau sifat yang tidak sesuai dengan keinginan konsumen. Produsen bisa
juga terjebak dalam upaya-upaya persuasif atau iklan yang menyimpang asalkan
konsumen mau membeli produknya. Dalam hal ini edukasi konsumen melalui
marketing harus diarahkan untuk mendidik konsumen akan manfaat dari produk yang
dibuat, bukan sebagai alat ampuh untuk membodohi konsumen, dan memberi
imajinasi tertinggi yang mendorong otak bawah sadar manusia untuk membeli.
Melainkan sebagai alat ampuh untuk menyentuh hati manusia pada kebutuhan dasar
yang harusnya diprioritaskan untuk dibeli.
b. Aspek kuantitas atau proporsi
Kuantitas atau proporsi menjadi hal yang sangat penting dalam
kegiatan produksi. Kegiatan produksi harus memperhatikan kebutuhan konsumsi.
Dengan demikian kegiatan produksipun otomatis harus dilakukan dalam jumlah, ukuran
maupun proporsi yang sesuai dengan nilai konsumsi yang diperlukan.
Mengupayakan kuantitas produksinya
akan dapat menghasikan kuantitas output yang paling ideal, baik dalam aspek
ekonomi maupun kesejahteraan sosialnya. Sebaliknya jika aspek ukuran atau
kuantitas dalam produksi ini diabaikan akan dapat mengakibatkan terjadinya
kelangkaan sehingga menimbulkan kelaparan, kesulitan hidup, penyakit dll. Hal
ini jika volume produksi belum dapat memenuhi kebutuhan konsumennya. Atau
sebaliknya dapat juga menyebabkan jumlah produksi yang melimpah (over produksi)
yaitu apabila outputnya melebihi kebutuhan konsumen. Hal ini akan mendorong
terjadinya pengangguran ataupun kemandekan proses dalam produksi selanjutnya.
Over produksi dapat juga mempercepat kerusakan atau habisnya sumberdaya alam
yang tak terbarukan karena terjadinya eksploitasi secara berlebihan. Di samping
itu juga menyebabkan labilnya harga dan
mendorong perilaku konsumen yang lebih boros dan tidak proporsional
terhadap kebutuhan dan tanggung jawabnya sebagai hamba dan khalifah Allah.
Perhatian terhadap aspek kuantitas
atau proporsi juga sangat relevan dengan konsep keseimbangan dalam pandangan
ekonomi konvensional yang terkenal dengan istilah keseimbangan dalam pasar
barang (sektor riil). Pasar barang dikatakan seimbang adalah apabila penawaran
pada pasar barang sama dengan permintaan pasar barang tersebut. Dengan demikian
terjadinya keseimbangan pada pasar barang merupakan suatu kondisi ideal tentang
permintaan dan penawaran barang. [27] Dalam kondisi keseimbangan tersebut
harga-harga akan lebih stabil dan selanjutnya pertumbuhan ekonomi juga dapat
diraih.
c. Aspek kualitas
Barang yang dikonsumsi tentu harus
memenuhi kualitas tertentu baik dalam kaitannya dengan kehalalan, kesehatan,
jenis, maupun karakteristiknya. Syarat-syarat kualitas tersebut tentu harus
menjadi landasan bagi produsen dalam menentukan jenis barang yang akan
diproduksinya. Produsen dilarang menyediakan barang atau jasa secara
semena-mena tanpa memperhatikan kualitas ataupun kaidah sosial yang
dipersyaratkan tentang barang tersebut.
Islam dalam hal ini sangat
menghargai keinginan konsumen dan berusaha untuk menyenangkannya tetapi Islam
akan menyaring hal-hal yang tidak sesuai dengan Islam untuk tidak diproduksi.
Batasan yang diberikan Islam dalam membuat sebuah produk sangat jelas, yang
benar tidak bisa dicampurkan dengan yang salah atas alasan apapun. Islam juga
sangat menekankan kualitas pelayanan tetapi kepuasan konsumen dibatasi dalam
bingkai syari’ah Islam. Produksi dalam Islam tidak boleh sekedar merespon
permintaan pasar begitu saja, tetapi juga harus mengedepankan pemenuhan
moralitas.
Sementara upaya produsen untuk
memperoleh maslahah yang maksimum dapat terwujud apabila produsen
mengaplikasikan nilai-nilai Islam. Dengan kata lain, seluruh kegiatan produksi
terikat pada tatanan nilai-nilai Islam yang dalam produksi dikembangkan dari
tiga nilai utama dalam ekonomi Islam, yaitu: khilafah, adil dan takaful. Semua
itu tentu agar kualitas barang yang ada benar-benar sesuai dengan harapan
konsumen dan produsen.
Kualitas barang yang dipersyaratkan
dalam konsumsi, apabila tidak diperhatikan dalam proses produksinya akan dapat
menyebabkan rendahnya kepuasan konsumen dengan biaya yang tinggi, timbulnya
berbagai penyakit, timbulnya saling curiga antara konsumen dan produsen yang
dapat menjurus pada pertikaian, dll.
KESIMPULAN
Secara lebih khusus aspek-aspek
yang harus diperhatikan dalam kegiatan produksi adalah tentang motivasi,
kuantitas, kualitas, dan tatacaranya. Semuanya itu harus selaras dan simultan
diterapkan dalam praktek produksi sesuai nilai-nilai Islam yang ada.
Secara umum motivasi dan tujuan
produksi dalam Islam adalah terpenuhinya kebutuhan secara wajar dan berkeadilan
sebagai sarana ibadah kepada Allah. Orientasi yang harus dibangun dalam
melakukan kegiatan produksi adalah mengarahkannya untuk memenuhi kebutuhan
dasar manusia. Produsen dilarang menyediakan barang atau jasa secara
semena-mena tanpa memperhatikan kualitas ataupun kaidah sosial yang
dipersyaratkan tentang barang tersebut.
Pelanggaran terhadap keterkaitan
dari aspek-aspek tersebut akan dapat menimbulkan hal-hal negatif bahkan fatal
dalam kehidupan ekonomi, di antaranya: timbulnya banyak penyakit, kelaparan
atau kemiskinan, terjadi atau bertambahnya pengangguran, rendanya kualitas
sumberdaya manusia. Dapat juga berakibat terjadinya over produksi, cepat rusak
atau habisnya sumberdaya alam yang tak terbarukan, perilaku konsumen yang
boros, persaingan yang tidak sehat, labilnya harga, timbulnya kriminalitas,
bahkan dapat menimbulkan pertikaian antar individu atau kelompok masyarakat.