KEBIJAKAN FISKAL DALAM SISTEM EKONOMI

                         MAKALAH                     
SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM 

 KEBIJAKAN FISKAL DALAM SISTEM EKONOMI

                                              

 

SEJARAH PEMIKIRAN1 EKONOMI ISLAM
Semester 1
Penyusun :
NURUL ZAIMATUS S.
Dosen pembimbing  :
Bpk.Drs Muhammad Ismail. MEI.
Progam studi ekonomi syari’ah
SEKOLAH TINGGI ILMU SYARI’AH
SENTRA BISNIS ISLAM
SURABAYA


KATA PENGANTAR


            Dengan mengucap puji syukur kehadiran Allah SWT, yang telah memberikan Rahmat serta hidayah-Nya ,sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Makalah yang berjudul “Kebijakan fiskal dan moneter dalam perspektif ekonomi islam“.Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas dari mata  kuliah:Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (SPEI) yang dibimbing oleh Bapak  Drs. Muhammad Ismail. MEI
Melalui proses yang tidak mudah,akhirnya saya dapat menyelesaikan tugas membuat Makalah ini. Dalam kesempatan ini, saya ingin menyampaikan rasa terima kasih yang  tidak terlampau kepada :
        1.     Bapak Drs.Muhammad Ismail  MEI.selaku pembimbing.
Semoga makalah ini dapat membantu bagi teman-teman dan siapa saja  yang  membutuhkan sedikit pengetahuan tentang “
KEBIJAKAN FISKAL DALAM SISTEM EKONOMI “.Namun demikian makalah ini,kiranya masih jauh dari kesempurnaan ,segala kritik dan saran yang  bersifat membangun sangat saya harapkan untuk masa yang akan datang .






 Surabaya, 4 Februari 2013



DAFTAR  ISI

Kata pengantar……………………………………………………………………………….............2
Daftar isi ……………………………………………………………………………………..............3
BAB I
Latar belakang………………………………………………………………………………..............4
Rumusan masalah…………………………………………………………………………….............5
Tujuan ………………………………………………………………………………………..............5
Landasan teori…………………………………………………………………………………..........6
BAB II
Pembahasan……………………………………………………………………………………...........7
1.    Tujuan kebijakan fiskal………………………………………….........................................................................7
A.    Terhadap sistem ekonomi islam…………………………………………………………………..7
         Instrument kebijakan fiskal……………………………………………………………………..8
           Prinsip pokok kebijakan fiskal dalam al-quran………………………………………………...10
B.    Terhadap sistem ekonomi kapitalis,……………………………………………………………...10
2.    Bentuk -bentuk kebijakan fiskal…………………………………………………………….........................................................13
3.    Fungsi kebijakan fiskal dalam sistem ekonomi……………………………………………............................................................................13
BAB III
Kesimpulan ……………………………………………………………………………………........15
Daftar pustaka……………………………………………………………………………………....16





 

     BAB I        

1.  Latar Belakang
         Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah. Kebijakan fiskal berbeda dengan kebijakan moneter, yang bertujuan men-stabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga dan jumlah uang yang beredar. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran dan pajak.
  Selama ini kita mengenal tiga sistem perekonomian yang berlaku di dunia yaitu sistem kapitalis, sistem sosialis dan sistem campuran. Salah satu dari tiga sistem tersebut diterapkan di Indonesia yaitu sistem campuran, dimana sistem campuran adalah sebuah sistem perekonomian dengan adanya peran pemerintah yang ikut serta menentukan cara-cara mengatasi masalah ekonomi yang dihadapi masyarakat. Tetapi campur tangan ini tidak sampai menghapuskan sama sekali kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilakukan pihak swasta yang diatur menurut prinsip-prinsip cara penentuan kegiatan ekonomi yang terdapat dalam perekonomian pasar.
Bentuk-bentuk campur tangan pemerintah antara lain :
1. Membuat peraturan-peraturan, dengan maksud untuk menghindari praktek sehat dalam
 perekonomian pasar.
2. Secara langsung ikut serta dalam kegiatan-kegiatan ekonomi. Ikut serta pemerintah
 dilakukan dengan mendirikan perusahaan-perusahaan yang menyediakan barang atau jasa
 jasa dalam kehidupan masyarakat. Contoh: Perusahaan Air Minum
      Kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah merupakan kebijakan didalam bidang perpajakan (penerimaan) dan pengeluarannya,
Kedua kebijakan ini merupakan wahana utama bagi peran aktif pemerintah dibidang ekonomi. Pada dasarnya sebagian besar upaya stabilisasi makro ekonomi berfokus pada pengendalian atau pemotongan anggaran belanja pemerintah dalam rangka mencapai keseimbangan neraca anggaran. Oleh karena itu, setiap upaya mobilisasi sumber daya untuk membiayai pembangunan publik yang penting hendaknya tidak hanya difokuskan pada sisi pengeluaran saja, tetapi juga pada sisi penerimaan pemerintah. Pinjaman dalam dan luar negeri dapat digunakan untuk menutupi kesenjangan tabungan. Dalam jangka panjang, salah satu potensi pendapatan yang tersedia bagi pemerintahan untuk membiayai segala usaha pembangunan adalah penggalakan pajak. Selain itu, sebagai akibat ketiadaan pasar-pasar uang domestik yang terorganisir dan terkontrol dengan baik, sebagian besar pemerintahan Negara- Negara Dunia Ketiga memang harus mengandalkan langkah-langkah fiskal dalam rangka mengupayakan stabilisasi perekonomian nasional dan memobilisasikan sumber-sumber daya ( keuangan) domestic.
Dari berbagai sistem ekonomi yang ada, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, sistem ekonomi Islam dianggap sebagai smart solution dari berbagai sistem ekonomi yang ada karena secara etimologi maupun secara empiris, terbukti sistem ekonomi Islam menjadi sistem ekonomi yang mampu memberikan kemakmuran dan kesejahteraan yang nyata dalam penerapannya pada saat zaman Rasullah Muhammad SAW dan pada masa Khalifah Islamiyah karena sistem ekonomi Islam adalah sistem ekonomi yang berdasarkan pada nilai keadilan dan kejujuran yang merupakan refleksi dari hubungan vertikal antara manusia dengan Allah SWT.

2.  Rumusan Masalah
1. Apa tujuan kebijakan fiskal terhadap sistem ekonomi ?
    a).sistem ekonomi islam
    b).sistem ekonomi kapitalis
2. Apa fungsi dan bentuk-bentuk dari kebijakan fiskal terhadap system ekonomi ?


3. TUJUAN
1)      Untuk mengetahui apa tujuan kebijakan fiskal terhadap system ekonomi baik islam maupun kapitalis
2).    Untuk mengetahui apa fungsi dan bentuk-bentuk dari kebijakan fiskal terhadap system ekonomi


KEBIJAKAN FISKAL DALAM SISTEM EKONOMI

 

I.       LANDASAN TEORI
            Beberapa pandangan kebijakan fiskal menurut pandangan ahli ;
Kebijakan Fiskal adalah  langkah-langkah pemerintah untuk membuat perubahan-perubahan dalam sistem pajak atau dalam perbelanjaannya dengan maksud untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi yang dihadapi.( Sadono Sukirno, 2003)
              Kebijakan Fiskal adalah kebijakan ekonomi yang digunakan pemerintah uantuk mengelolah/ mengarahkan perekonomian ke kondisi yang lebih baik atau yang diinginkan dengan cara mengubah- ubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. ( Prathama Rahardja Mandala Manurung, pengantar ilmu ekonomi )
           Sedangkan dalam ekonomi islam, kebijakan fiskal merupakan salah satu perangkat untuk mencapai tujuan syariah yang di jelaskan oleh Imam Al-Ghazali, termasuk meningkatkan kesejahteraan dengan tetap menjaga keimanan, kehidupan, intelektualitas, kekayaan, dan kepemilikan. Jadi, bukan hanya untuk mencapai keberlangsungan (pembagian) ekonomi untuk masyarakat yang paling besar jumlahnya, tapi juga membantu meningkatkan spiritual dan menyebarkan pesan dan ajaran islam seluas mungkin.
                kebijakan memiliki dua prioritas, yang pertama adalah mengatasi defisit anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) dan masalah-masalah APBN lainnya.  Defisit APBN terjadi apabila penerimaan pemerintah lebih kecil dari pengeluarannya. Dan yang kedua adalah mengatasi stabilitas ekonomi makro, yang terkait dengan antara lain ; pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, kesempatan kerja dan neraca pembayaran. ( Tulus TH Tambunan , 2006 )

          Sedangkaan, kebijakan fiskal terdiri dari perubahan pengeluaran pemerintah atau perpajakkan dengan tujuan untuk mempengaruhi besar serta susunan permintaan agregat. Indicator yang biasa dipakai adalah budget defisit yakni selisih antara pengeluaran pemerintah (dan juga pembayaran transfer) dengan penerimaan terutama dari pajak. ( Norpin, Ph. D. 1987 )

Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah.
Berdasarkan dari beberapa teori dan pendapat yang dijelaskan diatas dapat kita simpulkan bahwa kebijakan fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah dalam pengelolaan keuangan negara untuk mengarahkan kondisi perekonomian menjadi lebih baik yang terbatas pada sumber-sumber penerimaan dan alokasi pengeluaran negara yang tercantum dalam APBN.
BAB II
PEMBAHASAN
A.TUJUAN KEBIJAKAN FISKAL
   1). DALAM SISTEM EKONOMI ISLAM
            Tujuan kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam berbeda dari ekonomi konvensional, namun ada kesamaan yaitu dari segi sama-sama menganalisis dan membuat kebijakan ekonomi. Tujuan dari semua aktivitas ekonomi – bagi semua manusia – adalah untuk memaksimumkan kesejahteraan hidup manusia, dan kebijakan publik adalah suatu alat untuk mencapai tujuan tersebut.

             Pada sistem konvensional, konsep kesejahteraan hidup adalah untuk mendapatkan keuntungan maksimum bagi individu di dunia ini. Namun dalam Islam, konsep kesejahteraannya sangat luas, meliputi kehidupan di dunia dan di akhirat serta peningkatan spiritual lebih ditekankan daripada pemilikan material.
Jadi tujuan kebijakan fiskal dalam ekonomi islam adalah untuk menganalisis dan membuat kebijakan ekonomi untuk memaksimumkan kesejahteraan hidup manusia mencakup baik di dunia dan akhirat. Ada beberapa hal penting dalam ekonomi islam yang berimplikasi bagi penentuan kebijakan fiskal adalah sebagai berikut:
a)  Mengabaikan keadaan ekonomi dalam ekonomi islam, pemerintah muslim harus menjamin bahwa zakat dikumpulkan dari orang-orang muslim yang memiliki harta melebihi nisab dan yang digunakan untuk maksud yang dikhususkan dalam kitab suci Al-Qur’an.
b)  Tingkat bunga tidak berperan dalam system ekonomi islam.
c)   Ketika semua pinjaman dalam islam adalah bebas bunga, pengeluaran pemerintah akan dibiayai dari pengumpulan pajak atau dari bagi hasil.
d)   Ekonomi islam diupayakan untuk membantu ekonomi masyarakat muslim terbelakang dan menyebarkan pesan-pesan ajaran islam.
e)   Negara islam adalah Negara yang sejahtera, kesejahteraan meliputi aspek material dan spiritual.
f)    Pada saat perang, islam berharap orang-orang itu memberikan tidak hanya kehidupannya, tapi juga hartanya untuk menjaga agama.
g)   Hak perpajakan dalam islam tidak tak terbatas.




 Instrumen kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang diambil pemerintah untuk membelanjakan pendapatanya dalam merealisasikan tujuan-tujuan ekonomi. Dan kebijakan fiskal ini tersebut memiliki dua instrumen, pertama: kebijakan pendapatan, kedua: kebijakan belanja.
1. Kebijakan Pendapatan
    a)  Kebijakan Fiskal Pada masa Nabi Muhammad SAW. Rasulullah menanamkan prinsip saling membantu terhadap kebutuhan saudaranya selama memimpin di mekah. Setelah Rasulullah dimadinah, dalam waktu yang singkat Madinah mengalami pertumbuhan yang cepat. Dengan menerapkan prinsip-prinsip pemerintahan dan organisasi, membangun intitusi-intitusi, mengarahkan urusan luar negeri, membimbing para sahabatnya dalam memimpin dan pada akhirnya melepaskan jabatanya secara penuh. Sebagai kepala Negara yang baru terbentuk, ada beberapa hal yang segera mendapat perhatian beliau, seperti (1) membangun masjid utama sebagai tempat untuk mengadakan forum bagi para pengikutnya; (2) merehabilitasi Muhajirin Mekkah di Madinah; (3) menciptakan kedamaian dalam Negara; (4) mengeluarkan hak dan kewajiban bagi warga negaranya; (5) membuat konstitusi Negara; (6) menyusun system pertahanan madinah; (7) meletakan dasar-dasar sistem keuangan Negara. Bersamaan dengan persyariatan zakat, pemasukan lainpun mulai terlembagakan, mulai dari ghonimah perang Badar, kemudian perang-perang berikutnya. Pemasukan lainya yang dilembagakan adalah jizyah, dalam satu riwayat disebutkan terkumpul sebanyak dua ribu hullah.
Rasulullahpun mengkhususkan area untuk kemaslahatan umum, seperti tempat penggembalaan kuda-kuda perang, bahkan mementukan beberapa orang petugas untuk menjaga harta kekayaan negara seperti kekayaan hasil bumi khaibar yang dipercayakan kepada Abdullah bin Rawahah, sedangkan tugas penjagaan baitul maal dan pendistribusiaanya di amanahkan kepada Abi Rafi’ dan bilal, sementara ternak
pembayaran zakat diamanahkan kepada salah seorang dari Bani Giffar.
    (b)  Kebijakan Fiskal Pada masa Khulafaur Rasyidin
Seiring dengan perluasan kekusaan pemerintahan islam, maka pemasukan Ghonimah, fai’,
dan pemasukan lainnya semakin meningkat. Kemudian penetapan pos pemasukan “kharaj” terhadap tanah iraq dengan bersandar pada apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap Khaibar, dan atas keputusan ijma sahabat. Hal tersebut terjadi pada masa pemerintahan umar bin khatab. Untuk pertama kalinya pemasukan zakat ditransfer ke pemerintahan pusat, hal tersebut terjadi ketika Muadz Bin Jabal mengirim sepertiga hasil zakat dearah Yaman ke Madinah dan Umar menolaknya. Ditahun berikutnya Muadz mengirim setengah hasil zakat Yaman. Dan kembali Umar menolaknya sehingga pada tahun berikutnya Muadz mengirim seluruh hasil zakat dan berkata kepada Umar, bahwa di Yaman sudah tidak ada lagi Mustahiq zakat, kemudian Umarpun menerima hal tersebut dan selanjutnya Umar mensuplai hasil surplus zakat suatu dearah ke daerah yang mengalami defisit. Sumber lainnya yang ditetapkan pada zaman Umar adalah ”al usyur” dari perdagangan import yang di kelola oleh kaum kafir Harbi (orang non- Muslim yang tinggal di negara yang memerangi Islam).
2. Kebijakan Belanja
Kaidah-kaidah umum yang didasarkan dari Al-Quran dan Assunnah dalam memandu kebijakan belanja pemerintah. Kaidah-kaidah tersebut, antara lain sebagai berikut:
1.    Timbangan kebijakan pengeluaran atau belanja pemerintah harus senantiasa mengikuti kaidah maslahah.
2.    Menghindari Masyaqqah kesulitan dan madhorot harus didahulukan ketimbang melakukan pembenahan.
3.    Madhorot individu dapat dijadikan alasan demi menghindari madhorot dalam skala umum.
4.    Pengorbanan individu dapat dikorbankan demi menghindarkan kerugian dan pengorbanan dalam skala umum
5.    Kaidah ”Algiurmu bil gunmi” yaitu kaidah yang menyatakan bahwa yang mendapatkan manfaat harus siap menanggung beban.
6.    Kaidah ”ma la yatimmu Al waajibu illa bihifahua wajib” yaitu kaidah yang menyatakan bahwa “sesuatu hal yang wajib ditegakan, tanpa ditunjang oleh faktor penunjang lainnya tidak dapat dibangun, maka mengambil faktor penunjang tersebut menjadi wajib hukumnya.
Dan adapun tujuan pembelanjaan pemerintah dalam islam adalah sebagai berikut:
1.    Pengeluaran demi memenuhi kebutuhan hajat masyarakat.
2.    Pengeluaran sebagai alat Redistribusi kekayaan.
3.    Pengeluaran yang mengarah pada semakin bertambahnya permintaan efektif.
4.    Pengeluaran yang berkaitan dengan investasi dan produksi.
5.    Pengeluaran yang bertujuan menekan tingkat inflasi dengan kebijakan intervensi pasar.
Secara lebih rinci Pembelanjaan Negara harus didasarkan pada hal-hal berikut ini:
1.    Kebijakan belanja rutin harus sesuai dengan asas maslahat umum, tidak boleh dikaitkan dengan kemaslahatan seseorang atau kelompok masyarakat tertentu, apalagi kemaslahatan pejabat pemerintah.
2.    Kaidah atau prinsip efisiensi dalam belanja rutin, yaitu mendapatkan sebanyak mungkin manfaat dengan biaya yang semurah-murahnya, dengan sendirinya jauh dari sifat mubazir dan kikir disamping alokasinya pada sektor-sektor yang tidak bertentangan dengan syariah.
3.    Kaidah yang tidak berpihak pada kelompok kaya dalam pembelanjaan, walaupun dibolehkan berpihak pada kelompok miskin.
4.    Kaidah atau prinsip komitmen dengan aturan syariah, maka alokasi belanja Negara hanya boleh pada hal-hal yang mubah, dan menjauhi yang haram.
5.    Kaidah atau prinsip komitmen dengan skala prioritas syariah, dimulai dari yang wajib, sunnah dan mubah, atau dhoruroh, hajiyyat dan kamaliyyah.(ekonomsyariah.wordpress.com/2011/12/09/pengertian-kebijakan-fiskal)

Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.


Kebijakan Anggaran / Politik Anggaran :
1.    Anggaran Defisit (Defisit Budget) / Kebijakan Fiskal Ekspansif
Anggaran defisit adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Umumnya sangat baik digunakan jika keaadaan ekonomi sedang resesif.
   2. Anggaran Surplus (Surplus Budget) / Kebijakan Fiskal Kontraktif
Anggaran surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan.
   3. Anggaran Berimbang (Balanced Budget)
Anggaran berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin.








Prinsip pokok kebijakan ekonomi Islam dalam al-Qur’an
•    Allah Swt. adalah penguasa tertinggi sekaligus pemilik absolut seluruh alam semesta
•    Manusia hanyalah khalifah Allah di muka bumi, bukan pemilik yang sebenarnya
•    Semua yang dimiliki dan didapatkan manusia adalah atas rahmat Allah. Oleh karena itu, manusia yang kurang beruntung mempunyai hak atas sebagian kekayaan yang dimiliki saudaranya
•    Kekayaan harus berputar dan tidak boleh ditimbun
•    Eksploitasi ekonomi dalam segala bentuknya, termasuk riba harus dihilangkan
•    Menerapkan sistem warisan sebagai media redistribusi kekayaan yang dapat mengeleminasi berbagai konflik individu
•    Menetapkan berbagai bentuk sedekah—wajib/sunah—terhadap individu yang memiliki harta kekayaan yang banyak untuk membantu mereka yang tidak mampu.(sejarah pemikiran ekonomi islam,adiwarman karim).

B. DALAM SISTEM EKONOMI KAPITALIS
         Dalam system ekonomi kapitalis tujuan kebijakan fiskal jelas berbeda dengan system ekonomi islam,karna pada system ekonomi kapitaliss yang diutamakan hanya urusan selama hidup di dunia semata tanpa menyangkut nantinya bagaimana kehidupan diakhirat slanjutnya.
Kebijakan fiskal dalam ekonomi kapitalis bertujuan untuk
(1) pengalokasian sumber daya secara efisien;
(2) pencapaian stabilitas ekonomi;
(3) mendorong pertumbuhan ekonomi; dan
 (4) pencapaian distribusi pendapatan yang sesuai.

Semakin jelas diatas bahwa tujuan kebijakan fiskal terhadap system ekonomi kapitalis lebih kepada material tanpa mengutamakan aspek spiritualnya.
            
             Adapun kebijakan fiskal sebagai sarana menggalakan pembangunan ekonomi bermaksud mencapai tujuan sebagai berikut :
1.         Untuk meningkatkan laju investasi.
Kebijakan fiskal bertujuan meningkatkan dan memacu laju investasi disektor swasta dan sektor Negara. Selain itu, kebijakan fiskal juga dapat dipergunakan untuk mendorong dan menghambat bentuk investasi tertuntu. Dalam rangka itu pemerintah harus menerapkan kebijaan investasi berencana di sektor public, namun pada kenyataannya dibeberapa Negara berkembang dan tertinggal terjadi suatu problem yaitu dimana langkanya tabungan sukarela, tingkat konsumsi yang tinggi dan terjadi investasi dijalur yang tidak produktif dari masyarakat dinegara tersbut. Hal ini disebabkan tidak tersedianya modal asing yang cukup, baik swasta maupun pemerintha. Oleh karena itu kebijakan fiskal memberikan solusi yaitu kebijakan fiskal dapat meningkatkan rasio tabungan inkremental yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan, memacu, mendorong dan menghambat laju investasi. Menurut Dr. R. N. Tripathy terdapaat 6 metode yang diterapkan oleh pemerintah dalam rangka menaikkan rasio tabungan incremental bagi mobilisasi volume keuangan pembangunan yang diperlukan diantaranya :
a.      control fisik langsung
b.      peningkatan tariff pajak yang ada
c.      penerapan pajak baru,
d.      surplus dari perusahaan Negara
e.      pinjaman pemerintah yang tidak bersifat inflationer dan
f.       keuangan deficit.

2.         Untuk mendorong investasi optimal secara sosial.
Kebijakan fiskal bertujuan untuk mendorong investasi optimal secara sosial, dikarenakan investasi jenis ini memerlukan dana yang besar dan cepat yang menjadi tangunggan Negara secara  serentak berupaya memacu laju pembentukkan modal. Nantinya invesati optimal secara sosial bermanfaat dalam pembentukkan pasar yang lebih luas, peningkatan produktivitas dan pengurangan biaya produksi.

3.         Untuk meningkatkan kesempatan kerja.
Untuk merealisasikan tujuan ini, kebijakan fiskal berperan dalam hal pengelolan pengeluaran seperti dengan membentuk anggaran belanja untuk mendirikan  perusahaan Negara dan mendorong perusahaan swasta melalui pemberian subsidi, keringanan dan lain-lainnya sehingga dari pengupayaan langkah ini tercipta tambahan lapangan pekerjaan. Namun, langkah ini harus juga diiringi dengan pelaksanaan program pengendalian jumlah penduduk.

4.         Untuk meningkatkan stabilitas ekonomi ditengah ketidak stabilan internasional
Kebijaksanaan fiskal memegang peranan kunci dalam mempertahankan stabilitas ekonomi menghadapi kekuatan-kekuatan internal dan eksternal. Dalam rangka mengurangi dampak internasional fluktuasi siklis pada masa boom, harus diterapkan pajak ekspor dan impor. Pajak ekspor dapat menyedot rejeki nomplok yang timbul dari kenaikkan harga pasar. Sedangkan bea impor yang tinggi pada impor barang konsumsi dan barang mewah juga perlu untuk menghambat penggunaan daya beli tambahan.

5.         Untuk menanggulangi inflasi
Kebijakan fiskal bertujuan untuk menanggulangi inflasi salah satunya adalah dengan cara penetapan pajak langsung progresif yang dilengkapi dengan pajak komoditi, karena pajak seperti ini cendrung menyedot sebagian besar tambahan pendapatan uang yang tercipta dalam proses inflasi.

6.         Untuk meningkatkan dan mendistribusikan pendapatan nasional
Kebijakan fiskal yang bertujuan untuk mendistribusikan pendapatan nasional terdiri dari upaya meningkatkan pendapatan nyata masyarakat dan mengurangi tingkat pendapatan yang lebih tinggi, upaya ini dapat tercipta apabila adanya investasi dari pemerintah seperti pelancaran program pembangunan regional yang berimbang pada berbagai sektor perekonomian

C.    FUNGSI KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP SISTEM EKONOMI  
Fungsi Utama Kebijakan Fiskal
1.    Fungsi Alokasi, yaitu untuk mengalokasikan faktor-faktor produksi yang tersedia dalam masyarakat sedemikian rupa sehingga kebutuhan masyarakat berupa Public goods seperti jalan, jembatan, pendidikan dan tempat ibadah dapat terpenuhi secara layak dan dapat dinikmati oleh seluruhn masyarakat.
2.    Fungsi Distribusi, yaitu fungsi yang mempunyai tujuan agar pembagian pendapatan nasional dapat lebih merata untuk semua kalangan dan tingkat kehidupan.
3.    Fungsi Stabilisasi, agar terpeliharanya keseimbangan ekonomi terutama berupa kesempatan kerja yang tinggi, tingkat harga-harga umum yang relatif stabil dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang memadai. ( Soediyono,R,1992,h.89 ) 
C. BENTUK-BENTUK DARI KEBIJAKAN FISKAL
. Bentuk – Bentuk Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal umumnya dibagi atas tiga kategori, yaitu:
1.      Kebijakan yang menyangkut pembelian pemerintah atas barang dan jasa.
Pembelian pemerintah atau belanja negara merupakan unsur di dalam pendapatan nasional yang dilambangkan dengan huruf “G”. Pembelian atas barang dan jasa pemerintah ini mencakup pemerintah daerah, dan pusat. Belanja pemerintah ini meliputi pembangunan untuk jalan raya, jalan tol, bangunan sekolah, gedung pemerintahan, peralatan kemiliteran, dan gaji guru sekolah.
2.      Kebijakan yang menyangkut perpajakan
Pajak merupakan pendapatan yang paling besar di samping pendapatan yang berasal dari migas. Baik perusahaan maupun rumah tangga mempunyai kewajiban melakukan pembayaran pajak atas beberapa bahkan seluruh kegiatan yang dilakukan. Pajak yang dibayarkan digunakan semata-mata untuk pembangunan negara tersebut. Kebijakan pemerintah atas perpajakan mengalami pembaharuan dari waktu ke waktu, hal ini disebut tax reform (pembaharuan pajak). Tax reform yang dilakukan pemerintah mengikuti adanya perubahan di dalam masyarakat, seperti meningkatnya pendapatan.
3.      Kebijakan yang menyangkut pembayaran transfer.
Pembayaran transfer meliputi kompensasi pengangguran, tunjangan keamanan sosial, dan tunjangan pensiun. Jika dilihat pembayaran transfer merupakan bagian belanja pemerintah tetapi sebenarnya pembayaran tansfer tidak masuk dalam komponen G di dalam perhitungan pendapatan nasional. Alasannya yaitu karena transfer bukan merupakan pembelian sesuatu barang yang baru diproduksi dan pembayaran tersebut bukan karena jual beli barang dan jasa. Pembayaran transfer mempengaruhi pendapatan rumah tangga, namun tidak mencerminkan produksi perekonomian. Karena PDB dimaksudkan untuk mengukur pendapatan dari produksi barang dan jasa serta pengeluaran atas produksi barang dan jasa, pembayaran transfer tidak dihitung sebagai bagian dari belanja pemerintah.
            Salah satu gagasan utama Keynes pada tahun 1930-an adalah kebijakan fiskal dapat dan hendaknya digunakan untuk menstabilkan tingkat keluaran dan peluang kerja. Secara spesifik menurut Keynes, terdapat dua hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam kebijakan fiskal yaitu:
1). Kebijakan fiskal ekspansioner yaitu memotong pajak dan/atau menaikkan pengeluaran untuk mengeluarkan perekonomian dari penurunan.
2). Kebijakan fiskal kontraksioner yaitu menaikkan pajak dan/atau memangkas pengeluaran untuk mengeluarkan perekonomian dari inflasi.
Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.
Kebijakan fiskal mempunyai pengaruh baik jangka panjang maupun jangka pendek. Kebijakan fiskal mempengaruhi tabungan, investasi, dan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang , sedangkan dalam jangka pendek mempunyai pengaruh terhadap permintaan agregat barang dan jasa.








 











                                                     BAB III
KESIMPULAN
        Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang yang merujuk pada kebijakan pemerintah melalui pengeluaran dan pendapatan.kebijakan fiskal berbda dengan kebijakan moneter,instrument utama kebijakan fiskal adalah menstabilkan pengeluaran dan pendapatan ekonomi suatu Negara.
Kebijakan fiskal mempunyai tujuan terhadap sistem ekonomi biaik ekonomi islam ataupun ekonomi kapitalius kebijaka fiskal mempunyai tujuan yang amat sangat berbeda begitu pula definisinya.namun definisi dan tujuan kebijakan fiskal dari sistem ekonomi islam lebih luas definisi dan tujuanya dibandingkan dengan ekonomi kapitalis yang hanya mengutamaka aspek material saja tanpa menyangkut aspeik spiritualnya.sangat berbeda dengan ekonomi islam yang menyangkut semua aspek kehidupan dari mulai sebelum kita lahir sampai kehidupan kita setelah kita hidup semua dibshas dalam sistem ekonomi islam.
Selain tujuan kebijakan fiskal juga mempunyai fungsi dan bentuk-bentuk dalam sistem ekonomi. Fungsi tersebut meliputi fungsi alokasi , distribusi dan stabilisasi.sedangkan bentuk –bentuknya secara umum dibagi menjadi tiga.












                       DAFTAR PUSTAKA

1.    /2012/04/contoh-makalah-sistem-ekonomi-indonesia.html
2.    http://fungsi.org/search/arti-fungsi-dan-tujuan-kebijakan-fiskal
3.    http://ikemurwanti.blogspot.com/2011/05/kebijakan-fiskal.html
4.    http://id.shvoong.com/social-sciences/1997514-arti-dan-tujuan-kebijakan-fiskal/
5.    http://diana-kecil.blogspot.com/2012/07/makalah-kebijakan-fiskal.html
6.    http://ekonomsyariah.wordpress.com/2011/12/09/pengertian-kebijakan-fiskal/
7.    http://zanikhan.multiply.com/journal/item/2279
8.    Sistem ekonomi islam 1,taqiyyudin an-nabani
9.    Sejarah pemikiran ekonomi islam,adiwarman karim

JUAL BELI DAN PRODUKSI Semester II



MAKALAH
JUAL BELI DAN PRODUKSI
Disusun sebagai tugas kelompok mata kuliah
Sistem Ekonomi Islam 2
Dosen
Slamet Hariyono


Disusun oleh :
KELOMPOK 3
Alton PP
Yoni K
Azwar M
Suyanto

STIS SBI SURABAYA
2012
KATA PENGANTAR

           Bismillahirrahmannirrahim, Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada saya  sehingga dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya. Makalah ini berjudul “JUAL BELI DAN PRODUKSI “

          Makalah ini membahas penjelasan – penjelasan yang sangat penting tentang hukum – hukum jual beli dan produksi yang benar dalam Islam. Mulai dari pengertian, dasar hukum, klasifikasi dan pengelompokan, syarat dan rukun, dan masih banyak lagi aspek – aspek yang akan dibahas.

Terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah mendukung terselesaikannya tugas ini, baik secara langsung dan tidak langsung. Atas kekurangan dari makalah ini, diharapkan kritik dan saran dari semua pihak untuk kebaikan dan kemajuan bersama.

Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita, dan makalah ini bisa memberikan manfaat bagi siapapun yang membaca. Amin.











DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
Bab I          Pendahuluan
                                                             I.      Latar Belakang Masalah

                                                          II.      Rumusan Masalah

Bab II         Pembahasan
A.                      Jual Beli
1.      Pengertian
2.      Dasar Hukum
3.      Klasifikasi
4.      rukun
5.      Sebab – sebab dilarang
B.                       Produksi
1.      Abstrak
2.      Proses dan Fungsi
3.      Teori perilaku dan tujuan
4.      Prinsip – prinsip
5.      Hubungan dengan konsumsi

             









BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah
          Dalam perkembangan kemajuan Indonesia. Era sekarang adalah era dimana kewirausahaan menjadi tren percepatan akan perkembangan menuju Indonesia sebagai Negara maju berikutnya. Dengan itu program – program dari pemerintah dan juga lembaga – lembaga masyarakat terus menggalakkan jiwa kewirausahaan yang kuat dan mandiri. Hal ini didukung dengan cepatnya dunia informasi di dalam kehidupan. Salah satu yang perlu diperhatikan adalah perdagangan dan industri tentang produksi yang semakin hari semakin pesat perkembangannya.
            Sebagai seorang muslim yang beriman, maka perlu dipahami tentang hukum – hukum yang ada dalam Islam salah satunya hukum muamalah tentang jual beli dan produksi. Karena dalam system kapitalis sekarang ini. Penerapan hukum Islam sangat sulit dibedakan dengan hukum lainnya karena kuatnya kebiasaan dengan system materialis. Harus dipahami bahwa Islam memiliki aturan yang ideal dalam kondisi yang khas. Harus ada batasan yang jelas mana yang termasuk aturan Islam atau yang lainnya

II. Rumusan Masalah

          Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat kita ambil beberapa rumusan masalah yang akan kita bahas dalam bab berikutnya. Yaitu:
  1. Pengertian
  2. Fungsi dan Tujuan
  3. Dasar Hukum
  4. Klasifikasi
  5. Prinsip




BAB II

PEMBAHASAN
A.   JUAL BELI
  1. Pengertian Jual Beli
Jual beli dalam bahasa Arab terdiri dari dua kata yang mengandung makna berlawanan yaitu Al Bai’ yang artinya jual dan Asy Syira’a yang artinya Beli.
Secara etimologis, jual beli berarti menukar harta dengan harta. Sedangkan, secara terminologi, jual beli memiliki arti penukaran selain dengan fasilitas dan kenikmatan.
Menjual adalah memindahkan hak milik kepada orang lain dengan harga, sedangkan membeli yaitu menerimanya.
Menurut istilah hukum Syara, jual beli adalah penukaran harta (dalam pengertian luas) atas dasar saling rela atau tukar menukar suatu benda (barang) yang dilakukan antara dua pihak dengan kesepakatan (akad) tertentu atas dasar suka sama suka (lihat QS Az Zumar : 39, At Taubah : 103, hud : 93)
Maka Jual Beli bisa didefinisikan sebagai: Suatu transaksi pemindahan pemilikan suatu barang dari satu pihak (penjual) ke pihak lain (pembeli) dengan imbalan suatu barang lain atau uang. Atau dengan kata lain, jual beli itu adalah ijab dan qabul,yaitu suatu proses penyerahan dan penerimaan dalam transaksi barang atau jasa.

  1. Dasar Hukum Jual Beli
Jual beli disyariatkan di dalam Alquran, assunnah, ijma, dan dalil akal. termasuk dalam katagori muamalah yang dihalalkan oleh Allah . Allah SWT berfirman:
 “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S. Al Baqarah: 275).
“Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu.” (QS. Al-Baqarah: 29)
dalam tafsir ayat diatas mengatakan: “Apa-apa yang bermanfaat bagi hamba-Nya maka Allah memperbolehkannya dan apa-apa yang memudharatkannya maka Dia melarangnya bagi mereka”.
Dari ayat ini para ulama mengambil sebuah kaidah bahwa seluruh bentuk jual beli hukum asalnya boleh kecuali jual beli yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Yaitu setiap transaksi jual beli yang tidak memenuhi syarat sahnya atau terdapat larangan dalam unsur jual-beli tersebut.

  1. Klasifikasi Jual Beli
Jual beli dibedakan dalam banyak pembagian berdasarkan sudut pandang. Adapun pengklasifikasian jual beli adalah sebagai berikut:
1.       Berdasarkan Objeknya dagangnya. terbagi menjadi tiga jenis yaitu:
a)      Jual beli umum / Bai’ al-sil’ah bi al-naqd :  jual beli sesuatu barang dengan mata uang. Jenis ini adalah yang paling luas berlaku dikalangan manusia. Contonya ialah membeli sehelai baju dengan Rupiah atau US Dollar dan seumpamanya. yaitu menukar uang dengan barang.
b)      Jual beli Money Changer / Bai’ al-sharf :  jual beli mata uang dengan mata uang yang sama atau berbeda jenis, seperti menjual emas dengan emas, perak dengan perak atau emas dengan perak, rupiah dengan dollar dan sebagainya. penukaran uang dengan uang.
c)      Jual beli barter / Bai’ al-muqayadhah : jual beli sesuatu barang dengan barang, seperti menjual baju dengan tas atau menjual binatang ternak dengan beras dan sebagainya., yaitu menukar barang dengan barang.

2.       Berdasarkan Standardisasi Harga
a)      Jual Beli Bargainal (tawar menawar). yaitu jual beli di mana penjual tidak memberitahukan modal barang yang dijualnya.
b)      Jual Beli Amanah.  yaitu jual beli di mana penjual memberitahukan modal barang yang dijualnya. Dengan dasar ini, jual beli ini terbagi menjadi tiga jenis:
1)      Jual beli murabahah / Bai’ al-murabahah : jual beli suatu barang pada harga biaya bersama tambahan margin keuntungan, seperti menjual suatu barang berharga 1 juta dengan harga biaya dan ditambah pula margin keuntungan sebanyak 250 ribu yang disetujui oleh kedua pihak. jual beli dengan modal dan keuntungan yang diketahui. (Suatu penjualan barang seharga barang tersebut ditambah keuntungan yang disepakati). Karakteristik Murabahah adalah si penjual harus memberitahu pembeli tentang harga              pembelian barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut.
2)      Jual beli wadhi’ah / Bai’ al-wadhiah : adalah lawan dari  jual beli secara murabahah, jual-beli yang dibuat atas sesuatu barang dengan harga yang lebih murah dari harga biaya, seperti harga barang adalah 1 juta dan dijual dengan harga 900 ribu. jual beli dengan harga di bawah modal dan kerugian yang diketahui.
3)      Jual beli tauliyah / Bai’ al-tauliah : jual beli sesuatu barang dengan harga biaya  tanpa ada lebih maupun kurang dari harganya. Seperti barang berharga 1 juta dijual 1 juta. jual beli dengan menjual barang sama dengan harga modal, tanpa keuntungan atau kerugian

3.       Berdasarkan Cara Pembayaran
a)      Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran secara langsung  (jual beli kontan).
b)      Jual beli dengan pembayaran tertunda (jual beli nasi’ah).
c)      Jual beli dengan penyerahan barang tertunda.
d)     Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-sama tertunda.

4.       Berdasarkan wilayah
a)      Jual beli dalam negeri
Lingkup anggota masyarakat dalam sebuah Negara. Berhubungan dengan barang yang ada di tangan mereka seperti hasil produksi pertanian atau industry. Negara mengatur dalam lingkup global.
b)      Jual beli luar negeri
Impor dan ekspor barang ke dalam dan keluar negeri. Harus mengikuti prosedur aturan Negara. Negara memiliki kewenangan penuh dalam menentukan kebijakan.

  1. Rukun Jual Beli
Untuk dapat mengetahui dan memahami bentuk-bentuk transaksi jual beli yang dilakukan oleh umumnya manusia, apakah hukumnya sah atau tidak, penghasilan yang diperolehnya halal atau tidak, maka berikut ini kami akan sebutkan rukun-rukun dan syarat-syarat sahnya jual beli. Jual beli memiliki 3 (tiga) rukun:
1.      Al - ‘Aqid (orang yang melakukan transaksi / penjual dan pembeli)
a)      seorang yang merdeka, berakal (tidak gila), dan baligh atau mumayyiz (sudah dapat membedakan baik/buruk atau najis/suci, mengerti hitungan harga).
b)      Seorang budak apabila melakukan transaksi jual beli tidak sah kecuali atas izin dari tuannya, karena ia dan harta yang ada di tangannya adalah milik tuannya.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi: “Barangsiapa menjual seorang budak yang memiliki harta, maka hartanya itu milik penjualnya, kecuali jika pembeli mensyaratkan juga membeli apa yang dimiliki oleh budak itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
c)      Penjual dan pembeli harus saling ridha dan tidak ada unsur keterpaksaan dari pihak manapun meskipun tidak diungkapkan
Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”. (Q.S. An-Nisaa’: 29).
Rasulullah bersabda:“Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan dengan suka rela.” (HR. Ibnu Majah)
2.      Al - ‘Aqd (transaksi / ijab-qabul)
a)      Ijab (penawaran) yaitu si penjual mengatakan, “saya jual barang ini dengan harga sekian”. Dan Qabul (penerimaan) yaitu si pembeli mengatakan, “saya terima atau saya beli”.
Hal  ini tidak wajib karena Allah dalam surat An-Nisa’ hanya mensyaratkan saling ridha antara penjual dan pembeli dan tidak mensyaratkan mengucapkan lafaz ijab-qabul. Dan saling ridha antara penjual dan pembeli sebagaimana diketahui dengan lafaz ijab-qabul juga dapat diketahui dengan adanya qarinah (perbuatan seseorang dengan mengambil barang lalu membayarnya tanpa ada ucapan apa-apa dari kedua belah pihak). Dan tidak ada riwayat dari nabi atau para sahabat yang menjelaskan lafaz ijab-qabul, andaikan lafaz tersebut merupakan syarat tentulah akan diriwayatkan. Dengan demikian boleh membeli barang dengan meletakkan uang pada mesin lalu barangnya keluar dan diambil atau mengambil barang dari rak di super market dan membayar di kasir tanpa ada lafaz ijab-qabul.
3.      Al - Ma’qud ‘Alaihi ( objek transaksi mencakup barang dan uang).
a)      Barang yang diperjual-belikan memiliki manfaat yang dibenarkan syariat, bukan najis dan bukan benda yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan atas suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka Dia pasti mengharamkan harganya”. (HR. Abu Dawud dan Baihaqi dengan sanad shahih). Oleh karena itu tidak halal uang hasil penjualan barang-barang haram sebagai berikut: Minuman keras dengan berbagai macam jenisnya, bangkai, babi, anjing dan patung.
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamer, bangkai, babi dan patung”. (HR. Bukhari dan Muslim) “Sesungguhnya Nabi Saw melarang (makan) harga anjing, bayaran pelacur dan hasil perdukunan”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Termasuk dalam barang-barang yang haram diperjual-belikan ialah Kaset atau VCD musik dan porno. Maka uang hasil keuntungan menjual barang ini tidak halal dan tentunya tidak berkah, karena musik telah diharamkan Allah dan rasul-Nya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Akan ada diantara umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat musik”. (HR. Bukhari)
b)      Barang yang dijual harus barang yang telah dimilikinya. Dan kepemilikan sebuah barang dari hasil pembelian sebuah barang menjadi sempurna dengan terjadinya transaksi dan serah-terima. Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, dia bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang seseorang yang datang ke tokonya untuk membeli suatu barang, kebetulan barang tersebut sedang tidak ada di tokonya, kemudian dia mengambil uang orang tersebut dan membeli barang yang diinginkan dari toko lain, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab: “jangan engkau jual barang yang tidak engkau miliki!” (HR. Abu Daud ). Dan tidak boleh hukumnya menjual barang yang telah dibeli namun belum terjadi serah-terima barang. Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, ia berkata, “aku bertanya kepada rasulullah, jual-beli apakah yang diharamkan dan yang dihalalkan? Beliau bersabda, “hai keponakanku! Bila engkau membeli barang jangan dijual sebelum terjadi serah terima”. (HR. Ahmad)
c)      Barang yang dijual tidak bisa diserahkan kepada si pembeli. tidak sah menjual mobil, motor atau handphone miliknya yang dicuri oleh orang lain dan belum kembali. Demikian tidak sah menjual burung di udara atau ikan di kolam yang belum di tangkap, hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan Abu Said, ia berkata: “Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang membeli hamba sahaya yang kabur”. (HR.Ahmad)
d)     Barang yang diperjual-belikan dan harganya harus diketahui oleh pembeli dan penjual. Barang bisa diketahui dengan cara melihat fisiknya, atau mendengar penjelasan dari si penjual, kecuali untuk barang yang bila dibuka bungkusnya akan menjadi rusak seperti; telur, kelapa, durian, semangka dan selainnya. Maka sah jual beli tanpa melihat isinya dan si pembeli tidak berhak mengembalikan barang yang dibelinya seandainya didapati isi rusak kecuali dia mensyaratkan di saat akad jual-beli akan mengembalikan barang tersebut bilamana isinya rusak atau si penjual bermaksud menipu si pembeli dengan cara membuka sebuah semangka yang bagus, atau jeruk yang manis rasanya dan memajangnya sebagai contoh padahal dia tahu bahwa sebagian besar semangka dan jeruk yang dimilikinya bukan dari jenis contoh yang dipajang. Maka ini termasuk jual-beli gharar (penipuan) yang diharamkan syariat. Karena nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang jual beli yang mengandung unsur gharar (ketidak jelasan/penipuan). (HR. Muslim). Adapun harga barang bisa diketahui dengan cara menanyakan langsung kepada si penjual atau dengan melihat harga yang tertera pada barang, kecuali bila harga yang ditulis pada barang tersebut direkayasa dan bukan harga sesungguhnya, ini juga termasuk jual-beli gharar (penipuan).
e)      Barang tersebut telah ditentukan jenis dan kuantitasnya, barang dan nilainya diketahui (statusnya jelas) Hal ini untuk menghindari penipuan. Syarat barang diketahui cukup dengan mengetahui keberadaan barang tersebut sekalipun tanpa mengetahui jumlahnya, seperti pada transaksi berdasarkan perkiraan atau taksiran. Untuk barang Zimmah (barang yang dihitung dan ditimbang), maka jumlah dan sifat-sifatnya harus diketahui oleh kedua belah pihak. Demikian juga harganya harus diketahui, baik itu sifat, nilai pembayaran, jumlah maupun masanya.
f)       Masa penyerahannya telah ditetapkan.
g)      Tempat untuk diserahkan barang telah ditentukan.

  1. Sebab – Sebab dilarangnya Jual Beli
1.      Berkaitan dengan objek
a)      Tidak terpenuhniya syarat perjanjian, seperti menjual yang tidak ada, menjual anak binatang yang masih dalam tulang sulbi pejantan (malaqih) atau yang masih dalam tulang dada induknya (madhamin).
b)      Tidak terpenuhinya syarat nilai dan fungsi dari objek jual beli, seperti menjual barang najis, haram dan sebagainya.
c)      Tidak terpenuhinya syarat kepemilikan objek jual beli oleh si penjual.

2.      Berkaitan dengan komitmen terhadap akad jual beli
a)      Jual beli yang mengandung riba
b)      Jual beli yang mengandung kecurangan dan trik.
c)      Menjual tanggungan dengan tanggungan. Telah diriwayatkan larangan menjual tanggungan dengan tanggungan sebagaimana tersebut dalam hadits Nabi dari Ibnu ’Umar Ra. Yaitu menjual harga yang ditangguhkan dengan pembayaran yang ditangguhkan juga. Misalnya, menggugurkan apa yang ada pada tanggungan orang yang berhutang dengan jaminan nilai tertentu yang pengambilannya ditangguhkan dari waktu pengguguran. Ini adalah bentuk riba yang paling jelas dan paling jelek sekali.
d)     Jual beli disertai syarat. Jual beli disertai syarat tidak diijinkan dalam hukum Islam. bertentangan dengan konsekuensi jual beli seperti agar pembeli tidak menjualnya kembali atau menggunakannya. bertentangan dengan akad, seperti adanya bentuk usaha lain, seperti jual beli lain atau peminjaman, dan persyaratan yang membuat jual beli menjadi bergantung, seperti ”Saya jual ini kepadamu, kalau si Fulan ridha.
e)      Dua perjanjian dalam satu transaksi jual beli. Tidak dibolehkan melakukan dua perjanjian dalam satu transaksi.
f)       Jika akad jual beli itu menyulitkan ibadah, misalnya mengambil waktu shalat. Seorang pedagang sibuk dengan jual beli sampai terlambat melakukan shalat jama’ah di masjid, baik tertinggal seluruh shalat atau masbuq. Berniaga yang sampai melalaikan seperti ini dilarang. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah di tunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah: 9-10)
g)      Jual  beli najasy (menawar harga tinggi untuk menipu pengunjung lainnya)
h)      Jual beli seorang muslim di atas akad saudaranya.
i)        Jual beli dengan cara menipu.
j)        Menjual sesuatu yang halal untuk digunakan maksiat terhadap Allah SWT / keharaman. jika kita mengetahui barang yang kita jual kepada seseorang akan digunakan untuk maksiat kepada Allah maka haram bagi kita untuk melakukan jual-beli tersebut. misal :  menjual anggur yang kita ketahui bahwa anggur itu akan dibuat khamr, menjual senjata kepada pihak yang sedang berperang.
k)      Menjual barang dengan 2 harga yang berbeda. Yang dimaksudkan ini ialah membeda-bedakan harga kepada orang lain. Islam mengajarkan bahwa terhadap musuh pun harus berlaku adil dalam jual-beli. Hal ini tidak termasuk apabila terjadi tawar-menawar dengan pembeli. Misal : A mempunyai kecukupan harta dan tidak menawar harga yang kita tawarkan sedangkan B termasuk Dhuafa maka ia melakukan penawaran dan kita mengurangi harga tersebut. Maka semacam ini diperbolehkan
l)        Menjual dengan menghancurkan harga pasar. “janganlah kamu menjual sebagian kamu di atas sebagian yang lain” atau membeli di atas yang lain. Contoh ialah menawarkan harga kepada pembeli yang sudah sepakat dengan orang lain untuk berjualbeli namun kita mengajukan penawaran yang lebih murah sehingga orang yang sudah sepakat tersebut membatalkan kesepakatan.
m)    Buyback atau pembelian kembali atas barang yang kita jual. Misal kita menjual sepeda motor dengan harga 10 juta, kita menyetujui karena kita sedang butuh uang tersebut. Setelah kita memiliki kemampuan maka kita berniat membeli kembali sepeda motor tersebut namun dengan harga yang lebih tinggi yaitu misal 12 juta. Hal ini tidak boleh dilakukan. Hal ini tidak dibenarkan karena ini merupakan cara seseorang untuk mendapatkan riba/kelebihan.
n)      Jual-Beli buah-buahan sebelum matang. Sistem ini sering terjadi dan dikenal dengan sistem ijon. Hal ini tidak boleh dilakukan karena ditakutkan barang tersebut hancur, busuk atau dimakan binatang. Jual-beli boleh dilakukan ketika barang tersebut sudah jelas baik, sudah matang dsb.
o)      Menjual hanya untuk main-main, tidak serius. sebenarnya penjual tidak berniat untuk menjual barang tersebut hanya untuk bermain-main. Misal menjual tanah dengan harga 500 juta, kemudian ada yang mau setuju dengan harga tersebut, sang penjual tidak mau menyetujui atau menaikan menjadi 600 juta. Jika dinaikan menjadi 600 juta dan pembeli tetap mau membeli, sang penjual tidak mau menyetujuinya.
  1. PRODUKSI
  1. Abstrak
Tulisan ini berupaya menganalisis produksi dalam perspektif Islam. Melalui pendalaman terhadap berbagai prinsip dan karakter dari produksi dalam pandangan Islam, ditemukanlah beberapa aspek yang harus selalu dijaga harmoninya agar motivasi dan cita-cita manusia dalam kehidupan ekonominya dapat tercapai yaitu dipenuhinya kebutuhan manusia secara wajar dan berkeadilan sebagai sarana ibadah kepada Allah.
Aspek-aspek yang harus dijaga keterkaitannya tersebut adalah tentang motivasi, kuantitas, kualitas, serta tatacara atau prosedur dalam berkonsumsi dan produksi. Semua itu harus diterapkan secara selaras dan simultan sesuai dengan nilai-nilai Islam yang ada.
Praktek konsumsi yang tidak sinkron dengan produksinya atau sebaliknya praktek produksi tidak sinkron dengan konsumsinya dalam berbagai aspek tersebut akan dapat menimbulkan berbagai persoalan negatif bahkan fatal dalam kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat. Di antaranya: Timbulnya penyakit, kelaparan, kemiskinan, pengangguran, rendanya kualitas sumberdaya manusia. Juga terjadinya over produksi, sehingga cepat rusak atau habisnya sumberdaya alam yang tak terbarukan, perilaku konsumen yang boros, persaingan yang tidak sehat, labilnya harga, timbulnya kriminalitas, bahkan pertikaian antar individu atau kelompok masyarakat.
Sesuai kodratnya manusia tidak mungkin menghindarkan diri dari kegiatan produksi. Demi eksistensi dan kenyamanan hidupnya, manusia memerlukan banyak barang dan jasa. Sementara barang yang tersedia secara langsung untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia itu sangat terbatas, baik menyangkut jumlah, ragam maupun kualitasnya. Dari sinilah kemudian manusia terpanggil untuk melakukan kegiatan produksi. Mengelola berbagai sumber daya yang ada dengan mengubahnya untuk membuat atau menghasilkan sesuatu, demi memenuhi kebutuhan hidupnya yang terus meningkat dan bervariasi seiring dengan dinamika peradaban.
Dengan demikian maka persoalan yang menjadi urgen adalah: Dalam masalah apa saja keterkaitan produksi itu? Bagaimana Pandangan Islam tentang produksi? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya selalu mengiringi perjalanan hidup manusia dalam berproduksi. Hal ini tentu sesuai dengan tanggung jawab pribadi dan sosial yang diembannya.
Pemahaman terhadap persoalan ini diharapkan dapat mengantarkan manusia pada nilai hidup yang lebih bermartabat, proporsional, berkeadilan, juga terhindarkan dari ancaman murka Allah SWT. Banyak aspek yang terkait dengan produksi  yang perlu diperhatikan agar tujuan dapat maksimal dan tetap dalam koridor ridha Allah. Islam sendiri telah memiliki pedoman bagaimana manusia itu harus berproduksi. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat berakibat negatif bahkan fatal bagi kehidupan manusia. Semoga tulisan sederhana ini mampu memberi tambahan pencerahan pada pemerhati ekonomi Islam.


  1. Proses dan fungsi produksi
Produksi adalah proses mengeluarkan hasil, penghasilan. Dalam istilah ilmu ekonomi sering dimaknai sebagai kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan atau menambah guna dari suatu barang atau jasa. Produksi adalah sebuah proses yang lahir di muka bumi ini semenjak manusia awal menghuninya.
Dalam operasionalnya produksi memerlukan berbagai faktor atau sarana yang harus dilibatkan. Faktor-faktor produksi yang merupakan input dalam suatu proses produksi pada umumnya dikategorikan sebagai faktor produksi alam, tenaga kerja, modal, dan kewirausahaan atau organisasi. Faktor produksi alam merupakan segala sesuatu yang telah tersedia pada alam yang dapat dimanfaatkan dalam proses produksi seperti: tanah, air, udara, iklim, sungai, laut, gunung, hutan, dll. Tenaga kerja merupakan semua bentuk kegiatan manusia baik yang bersifat kemahiran fisik maupun mental yang diperlukan dalam proses produksi. Modal adalah segala sesuatu yang dihasilkan oleh manusia dengan maksud untuk menghasilkan barang atau jasa lain yang diperlukan manusia lebih lanjut, seperti jalan-jalan, mesin-mesin, peralatan, dll. Sedang kewirausahaan adalah kemampuan seseorang dalam mengelola faktor-faktor produksi yang ada, atau menjalankan suatu perusahaan sehingga proses produksi dapat berjalan dengan efisien dan menguntungkan.

  1. Teori perilaku dan tujuan produsen
Dalam pandangan konvensional beberapa teori atau asumsi dasar tentang perilaku produsen adalah:
Produsen bertindak secara rasional, artinya produsen akan selalu mempertimbangkan antara hasil (output) dan pengorbanannya (input).
Kegiatan produksi akan tunduk pada hukum yang disebut: “The Law of Diminishing Return” Yaitu bila satu macam input ditambah terus penggunaannya, sedang input yang lain tetap, maka tambahan output yang dihasilkan dari setiap tambahan satu unit input mula-mula akan naik tetapi kemudian terus menurun bila input tersebut terus ditambah.
Produsen dalam menggunakan faktor produksinya akan memilih kombinasi faktor produksi yang paling menguntungkan (paling efisien). Kombinasi input yang dapat dipilih oleh produsen secara matematis dig
ambarkan ke dalam suatu kurva yang disebut isoquant yaitu kurva yang menghubungkan titik-titik kombinasi input untuk menghasilkan tingkat output yang sama.
Tujuan utama produksi adalah untuk menghasilkan barang atau jasa yang dapat memenuhi kebutuhan ataupun keinginan manusia dengan sumberdaya yang efisien agar mendapatkan keuntungan maksimum. Karena itulah persoalan produksi konvensional sering terjebak pada orientasi tentang apa dan berapa output yang harus dihasilkan, serta  bagaimana kombinasi dari berbagai faktor produksi yang harus digunakan dalam kegiatan produksi tersebut agar dapat mendatangkan keuntungan yang maksimum. Dua hal itulah yang selalu dianggap sebagai intisari persoalan bagi produsen.
Dengan demikian produsen dikatakan berhasil dalam produksinya, apabila usahanya itu dapat rentabel atau menghasilkan keuntungan. Persoalan produksi masih belum menyangkut aspek moralitas dan tanggung jawab sosial.
Dalam pandangan Islam persoalan produksi tentu tidak sesederhana itu. Produksi harus memperhatikan berbagai aspek beserta akibatnya, khususnya yang terkait dengan tanggung jawab pribadi dan sosial manusia baik sebagai hamba atau khalifah Allah.

  1. Prinsip-prinsip produksi dalam Islam
Kegiatan produksi sangat prinsip bagi kelangsungan hidup dan peradaban manusia dan bumi. Produksi lahir dan tumbuh dari menyatunya manusia dengan alam. Allah telah menetapkan bahwa manusia berperan sebagai khalifah. Bumi adalah lapangan atau medan sedang manusia adalah pengelola segala apa yang terhampar di muka bumi untuk dimaksimalkan fungsi dan kegunaannya. Tanggung jawab manusia adalah mengelola resources yang telah disediakan oleh Allah tersebut secara efisien dan optimal agar kesejahteraan dan keadilan dapat ditegakkan. Satu hal yang harus selalu dihindari oleh manusia adalah berbuat kerusakan di muka bumi. Dengan demikian segala hal yang diajukan untuk mencari keuntungan tanpa berakibat pada peningkatan utility atau nilai guna resources tidak disukai dalam Islam.
Prinsip fundamental yang harus selalu diperhatikan dalam proses produksi dalam Islam adalah prinsip kesejahteraan ekonomi. Konsep kesejahteraan ekonomi Islam terdiri dari bertambahnya pendapatan yang diakibatkan oleh meningkatnya produksi dari barang-barang yang berfaedah melalui pemanfaatan sumberdaya secara maksimum. Dengan demikian perbaikan sistem produksi dalam Islam tidak hanya berarti meningkatkan pendapatan, yang dapat diukur dari segi uang, tetapi juga perbaikan dalam memaksimalkan terpenuhinya kebutuhan manusia dengan usaha minimal tetapi tetap memperhatikan tuntutan perintah-perintah Islam tentang konsumsi.
Selanjutnya beberapa implikasi mendasar yang harus diperhatikan bagi kegiatan produksi dan perekonomian dalam pandangan Islam adalah :
Seluruh kegiatan produksi terikat pada tataran nilai moral dan teknikal yang Islami. Sejak dari kegiatan mengorganisisr faktor produksi, proses produksi hingga pemasaran dan pelayanan kepada konsumen, semuanya harus mengikuti moralitas Islam. Metwally (1992) mengatakan ”perbedaan dari perusahaan-perusahaan non Islami tak hanya pada tujuannya, tetapi juga pada kebijakan-kebijakan ekonomi dan strategi pasarnya”. Produksi barag dan jasa yang dapat merusak moralitas dan menjauhkan manusia dari nilai-nilai relijius tidak akan diperbolehkan. Terdapat lima jenis kebutuhan yang dipandng bermanfaat untuk mencapai falah, yaitu :
1.      kehidupan,
2.      harta,
3.      kebenaran,
4.      ilmu pengetahuan dan
5.      kelangsungan keturunan.

Selain itu Islam juga mengajarkan adanya skala prioritas (dharuriyah, hajjiyah dan tahsiniyah) dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi serta melarang sikap berlebihan, larangan ini juga berlaku bagi segala mata rantai dalam produksinya. Kegiatan produksi harus memperhatikan aspek sosial-kemasyarakatan.
Kegiatan produksi harus menjaga nilai-nilai keseimbangan dan harmoni dengan lingkungan sosial dan lingkungan hidup dalam masyarakat dalam skala yang lebih luas. Selain itu, masyarakat juga berhak menikmati hasil produksi secara memadai dan berkualitas. Jadi produksi bukan hanya menyangkut kepentingan para produsen (stock holders) saja tapi juga masyarakat secara keseluruhan (stake holders). Pemerataan manfaat dan keuntungan produksi bagi keseluruhan masyarakat dan dilakukan dengan cara yang paling baik merupakan tujuan utama kegiatan ekonomi.
Permasalahan ekonomi muncul bukan saja karena kelangkaan tetapi lebih kompleks. Masalah ekonomi muncul bukan karena adanya kelangkaan sumber daya ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan manusia saja, tetapi juga disebabkan oleh kemalasan dan pengabaian optimalisasi segala anugerah Allah, baik dalam bentuk sumber daya alam maupun manusia. Sikap terserbut dalam Al-Qur’an sering disebut sebagai kezaliman atau pengingkaran terhadap nikmat Allah. Hal ini akan membawa implikasi bahwa prinsip produksi bukan sekedar efisiensi, tetapi secara luas adalah bagaimana mengoptimalisasikan pemanfaatan sumber daya ekonomi dalam kerangka pengabdian manusia kepada Tuhannya.
Kegiatan produksi dalam perspektif Islam bersifat alturistik sehingga produsen tidak hanya mengejar keuntungan maksimum saja. Produsen harus mengejar tujuan yang lebih luas sebagaimana tujuan ajaran Islam yaitu falah didunia dan akhirat. Kegiatan produksi juga harus berpedoman kepada nilai-nilai keadilan dan kebajikan bagi masyarakat.
Sistem produksi dalam Islam harus dikendalikan oleh kriteria obyektif maupun subyektif. Kriteria obyektif akan tercermin dalam bentuk kesejahteran yang dapat diukur dari segi uang, sedangkan kriteria subyektifnya dalam bentuk kesejahteraan yang dapat diukur dari segi etika ekonomi yang didasarkan atas perintah-perintah kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah nabi. Dalam memandang faktor-faktor produksi Islam juga memiliki pedoman-pedoman tersendiri. Tanah sebagai faktor produksi harus digunakan sedemikian rupa sehingga tujuan pertumbuhan yang berimbang dapat tercapai. Pemanfaatan tanah harus dapat memaksimalkan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Islam menaruh perhatian dalam pembudidayaan tanah-tanah kosong. Tenaga kerja atau buruh sebagai faktor produksi dalam Islam tidak pernah terpisahkan dari kehidupan moral dan sosial Faktor produksi organisasi diterapkan dengan ciri atau tatacara tersendiri. Pengelolaan kekayaan lebih berdasar pada modal sendiri daripada berdasarkan pinjaman. Organisasi dikendalikan dengan prinsip integritas moral, ketepatan dan kejujuran dalam akuntansi. Faktor manusia dalam produksi dan strategi usaha mempunyai signifikansi yang lebih diakui dibandingkan dengan strategi manajemen yang hanya didasarka pada pemaksimalan keuntungan atau penjualan.[23]
Islam dalam masalah produksi juga sangat mengedepankan moralitas dan menyentuh nilai dasar kebutuhan manusia (riel needs). Tidak harus selalu merespon kebutuhan konsumen, karena islam akan memfilter keinginan orang dalam mengkonsumsi sebuah produk. Produksi dalam islam tidak mengatakan bahwa konsumen adalah raja, atau apapun yang diminta konsumen asal konsumen puas akan dilayani oleh perusahaan. Islam dalam hal ini sangat menghargai keinginan konsumen dan berusaha untuk menyenangkannya tetapi islam akan menyaring hal-hal yang tidak sesuai dengan islam untuk tidak diproduksi.
Batasan yang diberikan Islam dalam membuat sebuah produk sangat jelas, yang benar tidak bisa dicampurkan dengan yang salah atas alasan apapun. Islam juga sangat menekankan kualitas pelayanan tetapi kepuasan konsumen dibatasi dalam bingkai syari’ah islam. Produksi dalam islam tidak boleh sekedar merespon permintaan pasar begitu saja. Tetapi juga mengedepankan pemenuhan moralitas. Contohnya walaupun produksi khamr (minuman keras) ataupun judi memiliki permintaan pasar yang besar dan memberikan potensi keuntungan yang besar bagi produsen, tetapi dalam islam hal tersebut tidak boleh dilakukan, sebab kedua barang konsumsi tersebut membahayakan, merusak akhlak generasi muda, membuat orang tidak produktif dan tidak sesuai dengan nilai-nilai syari’ah.
Sehingga tujuan produsen dalam Islam tidak cukup hanya mencari keuntungan maksimum belaka, tetapi juga menghasilkan barang dan jasa yang kemudian dimanfaatkan oleh konsumen untuk mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat. Islam memberikan ruang fleksibilitas yang sangat lebar dengan konsepnya yang sederhana namun mengena dan menyeluruh. Segala sesuatu dalam ibadah dilarang kecuali yang diperintahkan, dan segala sesuatu dalam mu’amalah dibolehkan kecuali yang dilarang.[24]
Dengan demikian prinsip pokok produsen yang Islami antara lain yaitu :
Kegiatan produksi harus dilandasi nila-nilai Islami, sesuai dengan maqashid syariah. Tidak memproduksi barang yang bertentangan dengan maqashid syariah yaitu menjaga iman, keturunan, jiwa, akal dan harta.
Prioritas produksi harus sesuai dengan prioritas kebutuhan yaitu: Dharuriyah, Hajjiyah dan Tahsiniyah.
Kegiatan produksi harus memperhatikan keadilan, aspek sosial kemasyarakatan, memenuhi kewajiban zakat, sedekah, infak dn wakaf.
Mengelola sumberdaya alam secara optimal, tidak boros, berlebihan dan merusak lingkungan.
Distribusi keuntungan yang adil antara pemilik, pengelola, manajemen dan buruh.[25]

  1. Aspek-aspek keterkaitan konsumsi dan produksi dalam perspektif Islam
Dari berbagai prinsip dan prosedur tentang produksi dalam pandangan Islam sebagaimana di atas, apabila dikaji lebih jauh telah menunjukkan beberapa aspek, yaitu:
a. Aspek motivasi dan tujuan
Dalam pandangan Islam dengan mengacu pada pemikiran al-Syatibi,[26] bahwa kebutuhan dasar manusia haruslah mencakup lima hal, yaitu terjaganya kehidupan beragama (ad-din), terpeliharanya jiwa (an-nafs), terjaminnya berkreasi dan berfikir (al-‘aql), terpenuhinya kebutuhan materi (al-mal), dan keberlangsungan meneruskan keturunan (an-nasl). Maka orientasi yang harus dibangun dalam melakukan kegiatan produksi adalah mengarahkannya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang lima tersebut. Titik temu terpenuhinya kebutuhan dasar manusia inilah yang merupakan orientasi penting dalam melakukan produksi.
Jika terjadi kontradiksi antara motivasi dan tujuan produksi akan dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan ataupun penyimpangan-penyimpangan bagi manusia dalam masalah ekonomi. Bisa jadi barang yang sangat diperlukan justru tidak tersedia, sementara barang-barang yang kurang atau tidak diperlukan oleh konsumen malah tersedia dalam jumlah yang berlebihan. Atau barang-barang yang dibutuhkan telah tersedia tetapi dengan kualitas atau sifat yang tidak sesuai dengan keinginan konsumen. Produsen bisa juga terjebak dalam upaya-upaya persuasif atau iklan yang menyimpang asalkan konsumen mau membeli produknya. Dalam hal ini edukasi konsumen melalui marketing harus diarahkan untuk mendidik konsumen akan manfaat dari produk yang dibuat, bukan sebagai alat ampuh untuk membodohi konsumen, dan memberi imajinasi tertinggi yang mendorong otak bawah sadar manusia untuk membeli. Melainkan sebagai alat ampuh untuk menyentuh hati manusia pada kebutuhan dasar yang harusnya diprioritaskan untuk dibeli.
b. Aspek kuantitas atau proporsi
Kuantitas atau proporsi  menjadi hal yang sangat penting dalam kegiatan produksi. Kegiatan produksi harus memperhatikan kebutuhan konsumsi. Dengan demikian kegiatan produksipun otomatis harus dilakukan dalam jumlah, ukuran maupun proporsi yang sesuai dengan nilai konsumsi yang diperlukan.
            Mengupayakan kuantitas produksinya akan dapat menghasikan kuantitas output yang paling ideal, baik dalam aspek ekonomi maupun kesejahteraan sosialnya. Sebaliknya jika aspek ukuran atau kuantitas dalam produksi ini diabaikan akan dapat mengakibatkan terjadinya kelangkaan sehingga menimbulkan kelaparan, kesulitan hidup, penyakit dll. Hal ini jika volume produksi belum dapat memenuhi kebutuhan konsumennya. Atau sebaliknya dapat juga menyebabkan jumlah produksi yang melimpah (over produksi) yaitu apabila outputnya melebihi kebutuhan konsumen. Hal ini akan mendorong terjadinya pengangguran ataupun kemandekan proses dalam produksi selanjutnya. Over produksi dapat juga mempercepat kerusakan atau habisnya sumberdaya alam yang tak terbarukan karena terjadinya eksploitasi secara berlebihan. Di samping itu juga menyebabkan labilnya harga dan  mendorong perilaku konsumen yang lebih boros dan tidak proporsional terhadap kebutuhan dan tanggung jawabnya sebagai hamba dan khalifah Allah.
            Perhatian terhadap aspek kuantitas atau proporsi juga sangat relevan dengan konsep keseimbangan dalam pandangan ekonomi konvensional yang terkenal dengan istilah keseimbangan dalam pasar barang (sektor riil). Pasar barang dikatakan seimbang adalah apabila penawaran pada pasar barang sama dengan permintaan pasar barang tersebut. Dengan demikian terjadinya keseimbangan pada pasar barang merupakan suatu kondisi ideal tentang permintaan dan penawaran barang. [27] Dalam kondisi keseimbangan tersebut harga-harga akan lebih stabil dan selanjutnya pertumbuhan ekonomi juga dapat diraih.


c.  Aspek kualitas
            Barang yang dikonsumsi tentu harus memenuhi kualitas tertentu baik dalam kaitannya dengan kehalalan, kesehatan, jenis, maupun karakteristiknya. Syarat-syarat kualitas tersebut tentu harus menjadi landasan bagi produsen dalam menentukan jenis barang yang akan diproduksinya. Produsen dilarang menyediakan barang atau jasa secara semena-mena tanpa memperhatikan kualitas ataupun kaidah sosial yang dipersyaratkan tentang barang tersebut.
Islam dalam hal ini sangat menghargai keinginan konsumen dan berusaha untuk menyenangkannya tetapi Islam akan menyaring hal-hal yang tidak sesuai dengan Islam untuk tidak diproduksi. Batasan yang diberikan Islam dalam membuat sebuah produk sangat jelas, yang benar tidak bisa dicampurkan dengan yang salah atas alasan apapun. Islam juga sangat menekankan kualitas pelayanan tetapi kepuasan konsumen dibatasi dalam bingkai syari’ah Islam. Produksi dalam Islam tidak boleh sekedar merespon permintaan pasar begitu saja, tetapi juga harus mengedepankan pemenuhan moralitas.
            Sementara upaya produsen untuk memperoleh maslahah yang maksimum dapat terwujud apabila produsen mengaplikasikan nilai-nilai Islam. Dengan kata lain, seluruh kegiatan produksi terikat pada tatanan nilai-nilai Islam yang dalam produksi dikembangkan dari tiga nilai utama dalam ekonomi Islam, yaitu: khilafah, adil dan takaful. Semua itu tentu agar kualitas barang yang ada benar-benar sesuai dengan harapan konsumen dan produsen.
            Kualitas barang yang dipersyaratkan dalam konsumsi, apabila tidak diperhatikan dalam proses produksinya akan dapat menyebabkan rendahnya kepuasan konsumen dengan biaya yang tinggi, timbulnya berbagai penyakit, timbulnya saling curiga antara konsumen dan produsen yang dapat menjurus pada pertikaian, dll.
KESIMPULAN
Secara lebih khusus aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam kegiatan produksi adalah tentang motivasi, kuantitas, kualitas, dan tatacaranya. Semuanya itu harus selaras dan simultan diterapkan dalam praktek produksi sesuai nilai-nilai Islam yang ada.
Secara umum motivasi dan tujuan produksi dalam Islam adalah terpenuhinya kebutuhan secara wajar dan berkeadilan sebagai sarana ibadah kepada Allah. Orientasi yang harus dibangun dalam melakukan kegiatan produksi adalah mengarahkannya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Produsen dilarang menyediakan barang atau jasa secara semena-mena tanpa memperhatikan kualitas ataupun kaidah sosial yang dipersyaratkan tentang barang tersebut.
Pelanggaran terhadap keterkaitan dari aspek-aspek tersebut akan dapat menimbulkan hal-hal negatif bahkan fatal dalam kehidupan ekonomi, di antaranya: timbulnya banyak penyakit, kelaparan atau kemiskinan, terjadi atau bertambahnya pengangguran, rendanya kualitas sumberdaya manusia. Dapat juga berakibat terjadinya over produksi, cepat rusak atau habisnya sumberdaya alam yang tak terbarukan, perilaku konsumen yang boros, persaingan yang tidak sehat, labilnya harga, timbulnya kriminalitas, bahkan dapat menimbulkan pertikaian antar individu atau kelompok masyarakat.


Template Information

Template Information

Test Footer 2

Popular Posts

 

Ekonomi Islam Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea